XI

2.1K 272 16
                                    

Gemericik air sungai yang mengalir melewati kedua kaki Laras yang telanjang, membuat hatinya tiba-tiba nyaman. Apalagi dengan kehadiran satu sosok yang membuat semuanya menjadi lebih unik. Entah mana yang harus Laras pikirkan dahulu. Sosok di sampingnya, wajah memerahnya, atau jantungnya yang daritadi tidak mau berhenti bertalu.

"Laras.. Gaat het wel goed?"
(Kamu baik-baik saja?)

Laras akui Laras sangat-sangat merindukan suara itu. Laras tidak tau apa yang terjadi pada dirinya, tapi Laras yakin, ini baru sekali terjadi di dalam hidupnya.

"Boleh aku jawab jujur?"
Laras ingin bicara setenang mungkin, agar setidaknya Nico tidak melihat getir dalam nada bicaranya, namun apa daya, suara itu suara rindu, suara yang ingin ia keluarkan kepada seseorang yang dirinduinya, suara serak yang membuat Nico tercenung mendengarnya. Laras seperti terlalu lama menahan sejumlah emosi yang tumpah ruah di relung hatinya.

"Kau tidak boleh berbohong kepada Meneer-mu, Laras."

"Hei," Laras akhirnya terkekeh, "tapi sekarang aku tuan putrinya."

"Ah, mohon ampuni saya. Anda boleh memotong kepala saya, Raden Ayu. Saya sungguh lancang." Nicolaas menundukkan tatapannya. Berniat bercanda tetapi sebuah sambutan yang tak dikiranya tiba-tiba membuat jantungnya hampir meledak karena terlalu bahagia.

Laras memeluknya. Gadisnya, pribumi-nya. Ah tidak, Raden Ayunya, merengkuh tubuh yang selama ini mendambakannya.

"Aku takut, Nico. Aku enggak baik-baik aja. Aku—" Laras menenggelamkan kepalanya dalam-dalam pada dada bidang Nicolaas. Gadis yang sekarang bergelar raden ayu itu tersengal, tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Padahal Laras ingin Nico tahu, sebenarnya Laras ingin di dengar meneer Belanda kesayangannya ini.

"Laras..." Lirih Nicolaas. Tangannya yang sejenak membeku akhirnya bergerak searah mengelus rikma kekasihnya. Mempererat pelukan yang rasanya Nicolaas mau menukarnya dengan semua harta bendanya jika pelukan itu bisa abadi.

Nicolaas sedih. Dia telat menemukan kekasihnya. Mungkin jika ia menemukan Laras sebelum masyarakat sadar, Laras mungkin masih menjadi miliknya, bahagia, dan masih tersenyum seperti biasanya. Bukan Laras yang sekarang, Laras yang menangis dipelukannya.

Karena terkadang, tahta bukanlah segalanya.

"Hey.. sweetheart? Trust me it will be okay hm?" lembut suara Nico mencoba membujuk kekasihnya.

"Nico, aku mau pulang. Disini sama sekali tidak menyenangkan. Bilang padaku bagaimana cara pulang Nicolaas. Aku ingin pulang.."

Suara gadisnya seperti putus asa. Suara yang mampu membuat jantungnya teremas dan ikut sakit.

"Mau keluar denganku tiap minggu? Bilang pada dayangmu untuk menyiapkanmu lebih awal. Aku janji akan membuatmu tidak sakit lagi, Larasati."

Dalam pelukan Nico, Laras mengangguk senang.

****

Sibuk dengan dokumennya, seorang wanita paruh baya tiba-tiba berhenti dan di hadapannya, seorang budak laki-laki tengah bersujud simpuh.

"Maafkan hamba, Nyai. Tapi informasi dari dayang-dayang itu memang benar. Ndoro ayu bertemu dengan seorang londo diam-diam nyai."

"Apa? Londo sing ngendi?"

"Sepertinya mereka pernah bertemu sebelum Raden Ayu Laras ditemukan, Nyai."

"Gusti gusti, masalah opo maneh sing di gowo arek wadon iku!" Ujarnya dengan wajah memerah. 
(Tuhan, apalagi masalah yang dibawa anak perempuan itu?)

Time Travel (Batavia's Journey) (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang