XVI

1K 119 2
                                    

Patah, aku patah
Oleh dahan-dahan baru yang bertumbuhan di sekat-sekat lentik celuritnya.

"Bukankah ini terlalu cepat, Nyai?"

"Tidak. Ini waktu yang sangat tepat."

Hela nafas sang penasihat terdengar, khawatir dengan keputusan sembrono Nyai Ratu Agengnya. Beliau begitu gusar setelah mendengar kabar bahwa cucu keduanya menjalin hubungan dengan seorang londo.

Mungkin Sarajati hanya khawatir. Kedua cucunya memiliki sifat yang hampir sama. Siapa tau, nasib Larasati—cucu keduanya— akan mengikuti kakaknya Kresna? Pergi kabur dengan kekasihnya. Melepaskan tahta demi wanita.

Sarajati tidak paham akan hal itu. Kenapa meninggalkan kekuasaan hanya demi cinta? Padahal cinta itu hanya dusta yang tertunda. Akhirnya tidak pernah bahagia. Cinta? Kalaupun dunia tidak memisahkan, maka kematian adalah jurangnya. Semua akan mati, baik dengan cinta atau tidak. Setidaknya dengan kekuasaan, ia bisa dikenal orang-orang sebagai manusia yang terhormat.

Tidak. Tidak. Sarajati bukanlah orang yang gila hormat. Ia hanya menjunjung tinggi etika dan budaya yang sedari kecil diajarkan padanya. Kehilangan anak dan menantu membuatnya semakin keras diusianya yang sudah tak muda lagi. Sarajati hanya... Hanya takut mati sendirian. Tidak punya orang yang menangisi.

Cucunya harus berada di sampingnya. Membantunya mengurus tahta yang diampunya selama ini. Mewarisi segala kekuasaan dan kewibawaannya. Sehingga Sarajati bisa mati dengan tenang.

Karena itu, ia akan sedikit lebih egois mulai saat ini. Biarlah cucunya sedikit terluka sekarang. Daripada menanggung aib tak tertahankan.

Maka, dilaluilah lorong-lorong beku yang tak pernah hangat baginya itu. Menuju gedung kediaman sang cucu dengan langkah yang tegas. Pemimpin haruslah terlihat kuat, bukan?

Berdiri di hadapan pintu yang membatasi pandangannya dengan sang cucu, ia mengetuk kayu berukir itu halus.

"Larasati, ini Eyang."

Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Menampilkan cucu yang dikasihinya. Menatapnya dengan sorot yang sama. Sorot milik Larasati yang adem. Sorot yang juga dimiliki Widyawati, anaknya yang sudah lama dipeluk bumi.

Getir di mata Sarajati menggenang. Namun ditegaskan kembali tekadnya.

"Cucuku, ada satu dua hal yang ingin Eyang sampaikan. Mau keluar bersama Eyang?"

oOo

Konon katanya, di sebalik bukit itu, ada corak batik yang mengandung semesta bumi Jawa. Terkenal oleh penduduknya yang bertangan terampil. Lorong-lorong yang dipenuhi seni. Jalan-jalan yang dipenuhi surga kebudayaan.

Laras baru kali ini melihat mereka. Menggores-gores lilin di lembaran kain-kain berkualitas terbaik. Mengikuti corak yang Laras yakin bahwa corak itu bukan corak biasa. Corak khas daerah ini. Yang keindahannya tidak bisa ditiru oleh siapapun. Ketelitiannya membuat Laras terkagum-kagum sampai tak bisa berpaling.

Eyangnya tersenyum melihat binar di mata cucunya. Syukurlah, cucunya memiliki jiwa cinta tanah air. Diam-diam ia berdoa agar semua pemuda dan pemudi mau melestarikan kebudayaan berharga ini agar nantinya tidak hilang sia-sia.

Time Travel (Batavia's Journey) (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang