XIII

1.4K 185 1
                                    

Suasana anyep di bawah penerangan rembulan di malam ke-empat belas bulan Rajab itu membuat Laras kian merapatkan kedua telapak tangannya pada sebuah cangkir dari batok kelapa. Isinya teh hangat yang baru saja dibelikan oleh Kresna, pria yang beberapa waktu lalu membuatnya senam jantung karena tiba-tiba muncul di belakangnya.

Sebelumnya, Laras ingin menjelaskan dimana ia berada sekarang,

Sebuah bukit di selatan kota. Daerah yang jarang disambangi orang. Karena bahkan kelinci hutan pun jarang ditemui di sini. Hanya ada rimbunan pepohonan serta ilalang yang lebat. Bahkan, selama perjalanan menuju di sebalik bukit, Laras bahkan tidak melihat satupun bangunan rumah di sana. Hanya ada satu, di seberang tempat Laras sekarang duduk bersama kangmas-nya.

Di depannya ada api unggun yang sengaja dibuat oleh laki-laki itu, untuk menghangatkan diri.

Bulan bulat hampir penuh, bintang-bintang sepertinya malu untuk menunjukkan diri. Atau mungkin sedang menahan diri untuk tidak bersinar lebih terang daripada sang rembulan. Sepertinya besok akan cerah, tidak ada awan malam ini. Di atas kepala laras, bermil-mil jauhnya, hanya terbentang angkasa yang kosong dengan satu benda ikonik yang merajai malam, sang bulan.

"Jadi kamu benar-benar kangmas-ku?"

Kresna agak sebal mendengar adiknya berkata seolah Kresna adalah orang yang benar-benar asing. Tapi mau bagaimana lagi, adiknya itu hilang ingatan. Setidaknya itu yang ia percayai. Dia tidak tahu saja bahwa jiwa yang ada di tubuh adiknya bukan merupakan jiwa 'asli' adiknya.

Kadang Laras bertanya-tanya, kalau jiwanya menempati Raga gadis ini, dimana jiwa sebenarnya dari Raden Ayu Larasati? Kenapa Laras yang terpilih menempati raganya?

"Ya, kalau ndak percaya, tanyakan pada Nyai Sarajati, nenekmu itu. Ngomong-ngomong panggil aku kangmas! Kangmas ndak suka kau bersikap asing seperti itu."

"Memangnya kangmas mau kubawa menghadap ke Nyai?" Laras menuruti permintaan kangmas-nya. Walaupun rasanya aneh memanggil seseorang dengan sebutan 'kakak' karena di masa depan, Laras itu anak pertama dan tunggal, jomblo pula.

Kresna tersenyum kecil saat adiknya kembali menyebutnya kangmas. Wah, ia benar-benar rindu di panggil seperti itu. Mengingatkannya kembali pada kenangan masa ia kanak-kanak dulu. Masa sebelum kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat seperti ini. Saat cinta menyambanginya untuk yang pertama kalinya. Deras seperti air terjun, Kresna tak kuasa menahan dirinya sendiri untuk tidak terjun dan menceburkan dirinya ke dalam lautan asmara. Sehingga ia berani mengambil keputusan yang mengubah hidupnya, statusnya, dan jiwanya.

"Pikir kamu?"

"Pasti kangmas ndak mau."

"Yasudah."

"Gimana kalau Laras ndak percaya?"

"Yasudah."

"Ih apa-apaan sih? Kok kangmas menyebalkan?"

"Kalau kamu ndak percaya, kamu ndak bakal ikut kangmas kesini."

"Itu karena Laras penasaran sama apa yang sebenarnya terjadi di Keraton!"

"Kau kan bisa tanya nyai."

"Kangmas pikir Laras berani?"

"Bukannya kamu memang berani? Dulu saja biasanya langsung blak-blakan bicara dengan nada tinggi sama Nyai eyang."

Waw. Laras tidak mengira pendahulunya sama bar-barnya seperti dirinya. Laras kira ia harus berakting untuk bertata-krama disini, ternyata sifat dan kelakuan pendahulunya tidak jauh berbeda dengannya. Suka kabur, petualangan, dan suka melanggar aturan.

"Ah masa benar Laras begitu. Kangmas jangan mengarang! Laras itu halus tindak-tanduknya tau!"

"Kau sedang menulis cerita fiksi?"

Kresna menyebalkan. Lelaki itu tipe kakak yang setiap harinya akan menjahili adiknya sampai sang adik menangis.

"Iya-iya HAHAHAH! Jangan memasang wajah lucu seperti itu. Kangmas jadi ingin menenggelamkanmu ke laut selatan."

Laras menghantam bahu kangmasnya dengan segenap tenaga. Harga dirinya tiba-tiba jatuh begitu saja saat berhadapan dan berdebat dengan Kresna.

"Aduh! Aduh!" Gebukan Laras tak main-main, tapi otot Kresna tak bisa sakit hanya karena itu,"Maafkan hamba yang rendah ini Kanjeng Ratu!"

"Kok Kanjeng Ratu? Kangmas kan sudah pulang, jadi Kangmas kan yang jadi penerus Nyai?"

Laras lupa. Karena kakaknya itu menghilang, ia di gadang-gadang akan menjadi Ratu di Keraton itu saat Nyai Eyangnya nanti melepas tahtanya. Laras berpikir itu akan sangat menyebalkan karena bahkan dirinya tidak tau apa itu tugas menjadi pemimpin sebuah daerah.

Karena kangmas-nya sekarang muncul, Laras jadi bernafas lega. Setidaknya ia tidak akan menjadi apa yang tidak diinginkannya.

"Tidak Laras. Kau tetap akan menjadi penerus Nyai Eyang. Karena kangmas tidak berniat kembali." Kresna melirik sebuah pondok sederhana di atas bukit itu, lalu tersenyum. Laras bisa melihat siluet seorang wanita dari dalam sana. Apa itu kekasih Kresna?

"Dia kakak ipar Laras ya?" Laras berniat menggoda kakaknya.

Kedua pipi lelaki itu bersemu. Aneh sekali, Laras pikir semu merah jambu itu tidak cocok di wajah tegas kangmas-nya yang maskulin.

"Wajah kangmas jelek sekali kalau bersemu."

"Hush! Jangan durhaka dengan kangmas sendiri, kualat!" Kangmasnya bersungut-sungut. Sementara Laras terkikik. Kakaknya ini lucu, mungkin karena lama tidak tercemar oleh suasana keraton yang kaku, Kresna menjadi lebih periang seperti ini.

Laras dengar-dengar dulu kakaknya itu selalu uring-uringan dan mengamuk di segala situasi. Mungkin karena tekanan dari keraton dan cintanya yang tidak direstui.

Dan yah, mungkin Laras akan seperti kakaknya sebelum pergi dari keraton jika Laras tetap di sana selama berbulan-bulan.

"Jadi kangmas kapan mau cerita? Laras ndak mau jadi satu-satunya orang yang ndak tau apa-apa tentang masalah di keraton. Laras di sana seperti kambing kurban yang sewaktu-waktu bisa di sembelih. Apalagi Laras sendirian, tidak punya teman."

Kresna menatap adiknya dengan perasaan bersalah. Laras dapat melihat sorot penuh cinta dari sosok itu untuk Laras. Kakaknya itu begitu menyayangi dirinya. Tapi kenapa dia sampai tega meninggalkan adiknya dan tahtanya. Membuat adiknya menanggung beban seberat menjadi seorang pemimpin keraton.

"Kangmas juga heran kenapa kamu bisa sampai kembali ke keraton busuk itu Laras.."

"Mungkin kau memang sudah ditakdirkan oleh Dewata Agung untuk menjadi penerus Nyai Eyang."

Dari situlah semuanya bermula..

Semuanya mengalir deras bagai sungai. Cerita-cerita yang menjadi hutang itu satu-persatu tersingkap.

Time Travel (Batavia's Journey) (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang