Senja di pelupuk mata. Sinarnya yang hangat, tak mampu mencairkan raut keras dan kaku dari sosok yang sedari tadi memandangnya kosong.
Lelaki itu sudah memutuskan. Apa yang ia pilih untuk masa depannya dan apa yang mungkin jadi konsekuensi baginya.
Dia kemudian berbalik, memantapkan langkah, berjalan pasti menuju kamar adik kesayangannya, Larasati.
Diketuknya pintu itu perlahan. Tak mau ia kalau adiknya terganggu karena sebegitu sayangnya ia pada adiknya.
Karena rasa sayang dan kasih itupun, dia rela mengambil konsekuensi apapun demi masa depan mereka yang lebih baik.
Mereka berdua kakak-beradik yang mencintai kebebasan. Mungkin saat itu, Tuhan keliru menempatkan mereka dalam kedudukan dunia.
Di keraton yang penuh dengan tata laku yang harus dipatuhi ini, keduanya seperti terkurung dalam sangkar. Dibatasi haknya, dipaksa untuk memikul sebuah tanggung jawab yang bahkan tidak ia inginkan.
"Kangmas! Ada apa kangmas kemari sore-sore seperti ini?" Sosok jelita muncul di balik pintu yang baru saja ia ketuk. Senyumnya yang semanis gulali itu membuat hatinya menghangat dan bertambah yakin akan keputusannya.
"Kangmas mau bicara sama kamu. Suruh dayang-dayang mu keluar sebentar," katanya dengan nada bicara halus. Dia tidak mau membuat adiknya merasa panik atau pun apa.
Dayang-dayang Laras tanpa menunggu aba-aba kedua langsung keluar. Mereka tau kedua ndoro mereka akan membicarakan hal yang jika mereka tau, leher mereka jadi jaminannya.
Kresna melirik pintu yang tertutup rapat. Menyadari situasi sudah aman, dia kemudian beralih kepada adiknya, yang memandangnya keheranan. Ah, Kresna baru sadar bahwa sosok cantik dihadapannya sudah hampir beranjak dewasa.
Sebentar lagi eyang putrinya mungkin akan mencoba mencarikan Laras seorang laki-laki untuk dijadikan suami. Kresna benar-benar tidak akan rela jika itu terjadi. Pangeran yang akan memegang tahta itu tidak mau adiknya dijadikan alat untuk memperbesar kekuasaan.
Jadi sudah ia putuskan dengan bulat sejak malam tadi. Bukan, sejak bertahun-tahun rasa untuk ingin lepas dari beratnya tahta dan kurungan tak kasat mata ini muncul, "Ayo pergi bersama kangmas, Larasati."
Mata bola adiknya itu melebar kegirangan. Kemana kakang-nya itu akan mengajaknya? Nyai membatasi pergerakannya, Laras benci itu. Tapi kalau bersama kangmasnya, mungkin mereka akan diijinkan.
"Kemana kangmas? Apa sudah dapat ijin dari Nyai Ratu?"
Kangmasnya menggeleng.
"Apa kangmas mau kutemani minta ijinnya?"
"Tidak, Laras. Kita tidak perlu ijin dari Nyai Ratu untuk kepergian kita kali ini. Karena kita tidak akan kembali lagi."
()()()()
Hari ini hari istimewa. Ramainya jalan-jalan menuju keraton membuat keadaan semakin meriah. Ada sesuatu yang lain di keraton yang biasanya suram dan sepi itu.
"Sopo wae sing arep melu mburu?" (Siapa saja yang akan ikut perburuan?)
"Tidak tahu. Ayo kita lihat saja!"
Sebelumnya akan dijelaskan bahwa di sini hanya ada kekuasaan mutlak dari keraton. Orang-orang Belanda bahkan tidak bisa menyentuh sejengkal tanah wilayah keraton ini. Begitu hebatnya kepemimpinan Nyai Ratu yang terkenal seantero pulau Jawa.
Beliau tidak lain dan tidak bukan adalah eyang Larasati dan Kresna. Sosok paling dihormati karena jasanya dan kontribusinya pada wilayah kekuasaannya. Beliau selalu membuktikan bahwa perempuan tidak hanya harus berdiam diri dan menonton.
Hari ini adalah hari spesial yang hanya ada setahun sekali di tanah Jawa. Sebuah perburuan besar yang diadakan keraton sebagai rasa syukur atas berlimpahnya kekayaan hutan yang sudah menyokong wilayah mereka selama berabad-abad. Hutan yang telah menyediakan pangan, baik itu hewan atau tumbuhannya, dan papan, oleh kayu-kayunya yang kuat dan kokoh.
"ITU RADEN KRESNA!"
"TAMPAN SEKALI, KYAA!!"
"ADIKNYA LARASATI JUGA SANGAT ANGGUN!"
"SSSTT, DIBELAKANG MEREKA ADA NYAI RATU! JANGAN BERISIK!"
Berbeda dengan kakaknya yang seperti tuli, Laras hampir saja berteriak untuk menyuruh mereka diam agar tidak berisik. Untuk informasi saja, Laras sangat tidak menyukai keramaian, itu membuatnya pusing. Hanya saja ia harus menahan diri agar nama baiknya tidak tercemar.
Rombongan itu bergerak pelan menuju perbatasan hutan di utara. Nyai Sarajati ditempatkan di salah satu singgasana yang secara khusus telah disiapkan. Lalu diturunkan tepat di tengah-tengah kerumunan rakyat yang mengelu-elukan namanya.
Ish. Mereka sangat berlebihan. Jika saja mereka tahu betapa bengisnya ia jika sudah marah. Seru Laras di dalam hati
Wanita yang sudah memiliki uban itu mengetukkan tongkatnya beberapa kali, hingga seluruh kerumuman itu diam. Wah, sungguh-sungguh sebuah kekuatan tahta yang besar.
"Rakyat bumi Jawi sing kula tresnani. Ayo kita nikmati perburuan dengan wujud bersyukur kepada Dewata Agung atas berkah yang sudah diberikan kepada keraton kita."
Seruan rakyat membahana, bersahut-sahutan seperti di arena gelanggang olahraga pembukaan selesai.
Para prajurit dan kesatria, atau siapapun yang berpartisipasi dalam perburuan sudah bersiap di batas awal hutan. Terlihat hal yang tidak biasa diantara mereka.
"Wah, rumor itu benar. Pangeran dan putri turut serta dalam perburuan taun ini!"
"Tuan putri kan perempuan! Apakah dia akan selamat?"
"Jangan remehkan darah kanjeng ratu yang mengalir di tubuhnya!"
"Astaga!"
Laras mengeratkan genggaman pada tali kekang kuda, sedari tadi kupingnya panas mendengar celotehan rakyat yang tidak menjaga mulut mereka.
Kakaknya memandangnya dengan penuh arti. Laras mengerti arti tatapan itu. Ia sudah hafal apa rencana yang akan mereka jalankan nantinya.
Kebulatan tekad mereka berdua sudah seperti baja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Travel (Batavia's Journey) (COMPLETED)
Historical FictionCOMPLETED Bagaimana ini? Laras sepertinya terjebak pada masa kolonial. Permainan semesta tak berhenti begitu saja saat ia tak sengaja bertemu dengan kelibat masa lalu dan sejarah keluarganya. . Terjebak di keadaan yang asing tentu lah sangat mengeri...