I

5.3K 578 28
                                    

"Satu Frappuchino untuk meja nomor 8!"

Kesibukan di kafe itu tak kunjung surut meski jam makan siang sudah lewat sekitar setengah jam yang lalu. Banyak yang memilih menghabiskan waktu disana hanya untuk berteduh dari panasnya sengatan matahari Jakarta yang menyengat kulit.

Laras mengamati perkembangan kafenya yang melonjak pesat selama dua tahun ini dengan senyuman manis. Kerja kerasnya tidak sia-sia. Usaha yang dirintisnya mulai dari kedai kopi kecil di pinggir jalan, lalu keberaniannya untuk membeli sebuah bangunan di tengah kota. Mahal sebenarnya, tapi pemilik bangunan sebelumnya memberikan keringanan untuk Laras. Laras bisa mencicil selama satu tahun setiap bulannya.

Wanita lajang itu kemudian beranjak. Usai memantau kafe miliknya yang ia namai dengan Celesta Caffe, Laras memutuskan untuk berbelanja kebutuhan rumahannya.

Ia mengemudikan mobil sedan hitamnya menuju ke toserba terdekat, lagu bernuansa lawas mengiringi perjalanannya. Laras memang penyuka musik era 80-an. Bukan hanya itu, rumahnya pun tak luput dari sentuhan klasik. Meski tinggal di kota besar seperti Jakarta, ia memberikan sentuhan budaya klasik seperti ukiran dan kayu di rumahnya. Ia menyukai sejarah, baginya itu adalah kekayaan yang tak ada harganya.

Tak lama setelah ia memakirkan mobilnya, ponselnya bergetar hebat. Nama salah satu sahabatnya terpampang di sana.

Dalam satu gerakan, Laras sudah terhubung dengan sahabatnya.

"Ras? Lo ada acara nggak sore ini?"

Laras sekilas melirik jam tangan yang melingkar manis di pergelangannya.

"Nggak juga sih, ada apa?"

"Berhubung lo suka apapun yang berbau sejarah, mau nemenin gue nggak?"

"Kemana?"

"Ada deh. Pokoknya lo bakal suka ini."

"Oke. Gue jemput sekarang?"

***

Laras sudah mengemudi selama satu jam dan Hana bahkan belum memberikannya perintah untuk berhenti. Ia menatap jalanan yang semakin sempit dan sepi kendaraan. Sebenarnya mereka mau kemana? Batin Laras sudah bertanya seperti itu ribuan kali. Saat wanita itu menyuarakannya, Hana hanya tersenyum penuh arti dan menyuruhnya untuk tetap fokus mengemudi.

"Ini masih jauh Han?" keluh Laras sambil sesekali meregangkan tubuhnya yang sudah mulai kaku dan pegal.

"Bentar lagi, udah deket kok."

Saat mobil Laras mulai memasuki daerah pedesaan dengan latar hutan lebat, Laras sudah bisa menebak mereka akan berkunjung kemana.

Hana merupakan arkeolog. Laras yakin bahwa tujuannya kali ini tidak akan jauh dari pekerjaan sahabatnya itu.

Beberapa menit kemudian, sebuah gerbang yang tampak kontras dengan sekelilingnya yang berupa pepohonan lebat terlihat.

"Kita masuk kesana?"

Laras mengernyitkan dahi heran saat Hana mengangguk. Maksudnya, gerbang itu tampak tua dan rapuh, seperti sudah dibangun beberapa abad yang lalu.

Laras kini fokus mengemudikan mobilnya karena jalan yang tidak lagi beraspal. Mobilnya bergerak diatas tanah kering yang sepertinya jarang dilewati kendaraan.

"Nah, Laras. Kita sudah sampai."

Laras mengerjapkan matanya tidak percaya. Ada banyak bangunan terbengkalai yang sudah rusak karena usia. Bangunan yang mungkin setua gerbang yang mereka temui tadi.

"Woah, ini apa? Kenapa lo ngajak gue kesini?"

"Ini bangunan sejarah, Laras! Lo harus turun dari mobil!" teriak Hana saat sudah keluar dari sedan Laras.

Laras ragu-ragu membuka pintu mobilnya dan menginjakkan kakinya di tanah penuh rumput liar itu.

"Ini situs yang gue bicarakan waktu itu, Laras. Gue udah janji bakal bawa lo kesini."

Laras masih menganga, ia memerhatikan bentuk-bentuk bangunan setengah hancur itu sampai pandangannya menyapu satu bangunan yang masih berdiri tegak disaat yang lainnya sudah runtuh.

"Itu kok masih ada yang utuh?" tunjuknya.

Hana tersenyum, "Oh, itu punya yang jaga situs ini. Ada museum kecil di dalamnya. Mau lihat?"

Laras mengangguk antusias. Mereka berdua berjalan mendekati bangunan itu sampai lelaki setengah baya menyambut mereka di pintu.

"Hana. Sudah lama tak kemari. Apa kabar, nak?" sapa lelaki itu ramah.

"Hana baik, Pak. Hana bawa teman, namanya Laras. Boleh kami berkeliling sebentar? Laras sangat suka hal-hal seperti ini."

"Boleh sekali. Jarang sekali anak muda jaman sekarang yang berminat pada sejarah. Masuklah Hana, ajak temanmu. Jangan sungkan."

Lelaki paruh baya yang kemudian diketahui Laras bernama Pak Seto itu masuk ke dalam bangunan itu diikuti Hana dan Laras. Begitu masuk ke dalam, aroma klasik menyeruak dan membuat Laras begitu senang. Mereka ditinggalkan Pak Seto begitu saja. Sepertinya Hana memiliki kepercayaan penuh dari penjaga situs itu.

"Baiklah, kita mulai darimana Laras?"

"Gue ingin menjelajahi bangunan ini dulu." Laras menatap satu persatu senapan yang tergantung di dinding putih bangunan itu.

"Itu milik tentara Belanda yang ditemukan sekitar 5 bulan yang lalu. Bentuknya masih bagus, ya kan?"

Laras mengangguk menyetujui ucapan Hana, meskipun warnanya sudah pudar dan retak di beberapa bagian, namun bentuknya masih utuh.

Mereka berjalan semakin masuk ke dalam bangunan. Hana bertindak sebagai pemandu disini. Ia menjelaskan sejarah singkat yang ia dapat dari Pak Seto.

"Daerah ini, mulai dari gerbang yang lo liat tadi adalah barak tempat pelatihan tentara Belanda. Makanya banyak senapan yang ditemukan."

"Ini ruangan apa? Kok ditutup sendiri?" Laras menunjuk sebuah pintu yang tertutup rapat, dan ada tanda dilarang masuk yang tertempel di pintunya.

"Nggak tahu. Kata Pak Seto, ada benda-benda khusus yang nggak boleh di lihat. Mungkin barang yang gampang rusak."

Laras mengangguk paham.

Mereka berkeliling hampir setengah jam berdua sebelum Hana pamit ke belakang karena ingin buang air kecil.

Sembari menunggu, Laras kembali mengamati pintu ruangan yang tertutup tadi. Seolah ada yang memerintah alam bawah sadarnya, Laras berjalan mendekat.

Semakin dekat dengan pintu itu, Laras merasakan sebuah energi tak kasat mata yang terus mendorongnya maju. Lalu entah telinganya sedang rusak atau Laras yang suka berhalusinasi, sebuah suara berlogat aneh terdengar meski sangat pelan.

"Aku merindukanmu, Laras. Kenapa berdiri disitu? Kau tidak mau menemui meneer-mu? Tidakkah kau rindu?"

Apa pemilik suara itu memanggilnya? Kenapa dia tau nama Laras? Dan apa arti ucapannya tadi? Merindukan Laras katanya?

Tangan Laras bergerak membuka kenop pintu tanpa ragu. Masa bodoh dengan larangan untuk memasuki ruangan itu. Laras kalah dengan rasa penasaran miliknya.

Cahaya silau menerpa wajah dan matanya yang sontak membuat Laras memejamkan mata.

"Akhirnya kau datang. Kemarilah, aku sudah menunggumu sebegitu lamanya."

Lalu Laras tak sadarkan diri.

.
.
.

Tbc

Hai hai!
Sebenernya ga ada niat mau nge publish work yang ini sih. Tapi gemes aja gitu karena udah nganggur lama di draft. Jadi, semoga kalian suka.

Jangan lupa vote, komen, sama share ke temen-temen kamu ya. Ajakin supaya dia juga bisa baca work ini.

Selamat pagi,

Lily



Time Travel (Batavia's Journey) (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang