Tidak! Laras tidak akan sudi disentuh oleh babi-babi itu. Laras harus mencari cara untuk kabur. Dan dia harap, Nico tahu apa yang terjadi dengannya saat ini. Sahabat bejatnya itu berniat menjualnya. Seharusnya Laras tidak pernah membukakan pintu untuk Henrick. Menunggu Nico pulang adalah keputusan terbaik. Harusnya.
Laras harus mencari cara. Dia tidak akan pernah sudi menyerahkan kehormatannya pada lintah-lintah penghisap kekayaan negerinya itu. Tidak akan pernah. Camkan itu! Baginya, orang-orang itu sama saja. Mungkin Nico sedikit berbeda. Yah, maafkan Laras karena pilih kasih. Salahkan lelaki itu yang terlampau lembut padanya. Tapi, Laras sendiri tidak yakin, mungkin juga Nico sama saja seperti mereka. Laras tidak tahu, tapi sedikit Laras harap bahwa Nico berada di pihaknya. Laras tidak mau membenci orang yang sudah menolong dan menampungnya.
Dengan wajah memelas dan pasrah, tentu saja setelah merancang rencana dadakan yang dipikirkannya beberapa menit yang lalu, nekat memang, tapi Laras bisa apa lagi? Setidaknya dirinya harus mencoba dan berusaha.
Laras bersuara dari kebisuannya,
"Tuan, boleh aku meminta sesuatu?"Henrick mengangkat wajahnya lalu menoleh pada Laras, memuji dalam hati keberanian pribumi satu ini. Jika ini bukan Henrick yang baik hati, pasti sudah daritadi gadis itu dibunuhnya.
Henrick berpikir mungkin tidak ada salahnya mengabulkan permintaan gadis itu, toh, ini pertemuan terakhir mereka 'kan?
"Karena aku sedikit kasihan denganmu, maka, baiklah. Akan kucoba mengabulkannya."
Cih, Laras mendecih dalam hati. Sombong sekali lelaki satu ini. Seperti mereka berbeda derajat saja. Padahal sama-sama manusia; sama-sama makhluk Tuhan yang fana. Tidak apa, asal rencananya berjalan dengan lancar. Laras rela menahan sabar dalam menghadapi orang satu ini—untuk tujuan khusus tentunya.
"Apakah ada pasar di dekat sini? Aku ingin membeli jagung manis. Jujur aku lapar, bolehkah?"
"Hah? Kau yakin hanya jagung manis saja?" Henrick memasang wajah tak percaya. Gadis itu benar-benar tidak bisa ditebak.
Laras mengangguk. Henrick memicing lalu bergumam, "memang dasar pribumi berselera rendah. Kampungan pula, kenapa juga Nico jatuh hati padanya?"
"Maaf? Tuan bilang apa tadi? Saya tidak mendengarnya dengan jelas." Laras mengigit lidahnya sendiri. Ia mendengar jelas apa yang digumamkan londo brengsek itu, tapi demi rencananya, ia akan bersabar.
Sedikit lagi Laras. Bersabarlah.
"Tidak. Bukan apa-apa."
Henrick memberikan instruksi pada kusir yang dibalas dengan anggukan oleh si kusir. Kereta kuda berbelok ke kanan mengikuti jalur yang berbeda.
Syukurlah lelaki itu menyetujuinya tanpa curiga. Sekarang Laras hanya harus berpura-pura dalam sandiwaranya.
Matahari sudah hampir jatuh ke dalam peraduannya. Laras dan kereta kuda milik Henrick berhenti di bawah pohon mangga, dekat dengan pasar yang sama dengan yang dikunjungi Laras dengan Nico kemarin. Ternyata sudah ramai. Pribumi dan londo saling berkeliaran kesana kemari, seolah mereka tidak pernah bermusuhan. Ah, andai saja begitu.
Henrick berniat menyuruh si kusir untuk turun dan membeli jagung manis untuk Laras, namun Laras buru-buru mencegah. Bisa-bisa gagal rencananya kalau begini.
"Tidak. Tidak perlu repot-repot, Tuan. Biar aku sendiri yang membelinya."
"Heh, kau kira aku bodoh? Kau mau kabur kan?"
Deg!
Wajah Laras pias menatap wajah Henrick yang kini menyeringai.
"T-tentu saja tidak," sergah Laras buru-buru. Sialan, Henrick ternyata tidak sebodoh itu untuk di tipu. Buru-buru Laras memutar otak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Time Travel (Batavia's Journey) (COMPLETED)
Historical FictionCOMPLETED Bagaimana ini? Laras sepertinya terjebak pada masa kolonial. Permainan semesta tak berhenti begitu saja saat ia tak sengaja bertemu dengan kelibat masa lalu dan sejarah keluarganya. . Terjebak di keadaan yang asing tentu lah sangat mengeri...