XIV

1.2K 131 1
                                    

Basah-basah dedaunan yang diberati embun pagi menjadi pemandangan pertama suasana pagi hari di gubuk itu. Semua isi rumah, sudah beraktivitas lebih dari satu jam yang lalu, saat tonggeret masih berbunyi sayup-sayup. Sementara itu, bersamaan dengan membukanya kelopak bunga-bunga melati di pekarangan, Laras membuka matanya. Dipan kayu berderit saat ia bangkit dan mencari eksistensi dari pemilik rumah.

Seperti tahu bahwa adiknya sudah bangun, sang kakak dari belakang rumah yang hanya dilapisi oleh kayu itu, berteriak memanggil.

"Laras! Kemarilah kalau kau sudah bangun!"

Laras yang masih setengah mengantuk—dan kedinginan, berjalan seperti zombie menuju asal suara.

Udara pagi menyergap cepat, membuat kulit gadis remaja itu meremang.

Melihat adiknya menggosok-gosok kedua telapak tangan, Kresna menyuruh Laras mengambil kain untuk dipakai. Ia tidak ingin adiknya flu karena kedinginan.

"Sedang apa kangmas? Memanen ubi?"

"Iya, kesukaan ibunda dahulu. Kau masih ingat tidak?"

Laras agak merasa bersalah. Ingatannya sama sekali tidak berikatan dengan pendahulunya. Laras kembali disadarkan, ini bukanlah kehidupannya. Ini kehidupan milik Raden Ayu Kesumajati, Laras hanya jiwa yang kebetulan tersesat di raganya saja.

Melihat Laras yang diam, Kresna tersenyum sengau. Agak risau dengan keadaan adiknya yang kehilangan ingatan itu. Apakah ia terbentuf sebegitu kerasnya sampai-sampai melupakan diri dan kehidupannya? Atau mungkin, Kresna pikir, adiknya itu terlalu letih menanggung beban sehingga tubuhnya menghilangkan beban itu bersamaan dengan hilangnya ingatan sang adik.

"Ubinya manis lho. Nanti bantulah kakak iparmu memasaknya. Sekalian belajar, kau kan sudah dewasa, pasti ada kan rencana menikah nantinya?"

Aduh, Laras lupa kalau kakaknya ini cerewet. Dengan cepat ia melupakan keadaan canggung tadi.

"Iya iya, Laras tau memasak kok." Gadis itu mengerucutkan bibir, sedikit merajuk.

"Sejak kapan? Hahaha," Kresna memboyong satu ikatan ubi lalu membawanya ke dalam rumah,"Eyang bahkan selalu memanjakanmu sampai-sampai kau selalu dilarang memasuki dapur."

"AH, EYANG NYAI!" Laras berteriak histeris. Ini sudah pagi dan biasanya ada sarapan harian yang rutin dilakukan. Artinya, eyangnya akan tahu kalau dia tidak ada di kamar.

"Kang mas! Laras harus pulang, jika tidak, keraton akan benar-benar geger."

"Hahahah, kau baru sadar sekarang adikku?"

"Kang mas!!"

Kresna terkekeh melihat raut panik adiknya yang lucu.

"Baiklah, yang mengantarmu sudah siap di sana."

"Apa??" Laras menoleh mengikuti arah pandang kakaknya, mendapati seseorang yang... Tidak asing?

Melotot. Bola mata Laras seperti akan menggelinding lalu terinjak kakinya sendiri.

"T-tunggu, kenapa kau bisa ada di sini?"

Iya, di sana berdiri tegap sosok yang sangat tidak asing bagi Larasati. Nicolaas.

Maksudnya, bagaimana bisa?

"Kapan-kapan berkunjunglah kesini, nanti akan Kang mas ceritakan." Kresna menepuk bahu Laras pelan, "Sekarang, bergegaslah."

"N-nico?"

"Ya, ini aku."

****

Hening. Hanya derapan kaki kuda yang beradu dengan tanah berumput yang terdengar. Sementara Laras masih mencoba meredakan detak jantungnya yang dari tadi berisik sampai membuatnya malu sendiri. Itu karena posisi mereka saat ini terlalu dekat. Deru nafas yang menerpa telinganya membuat dadanya semakan ribut. Kehangatan yang ia terima di punggungnya, tak hanya membuat tubuhnya hangat, kedua sisi wajahnya pun ikut merona. Kedua tangan tegap Nico yang melewati pinggangnya untuk menarik kekang kuda, seperti menjaga tubuhnya agar tidak terjatuh.

Ah, Laras mau pingsan. Adegan seperti ini, yang hanya ada di drakor yang sering ditontonnya, sekarang ia bisa merasakannya sendiri!

Semakin dekat mereka dengan keraton semakin Laras seperti tidak ingin kembali. Ia ingin bersama orang ini lama-lama. Sampai kuda mereka berhenti dan Nico turun lebih dulu untuk membantunya turun, Laras masih tertunduk dan bisu.

"Hei, kenapa tidak membiarkanku melihat wajahmu?"

Laras tersentak. Tangan Nico yang hangat menarik dagunya perlahan untuk terangkat. Kini mereka sukses bertatapan mata.

"Aku merindukanmu, Larasati..."

"A-aku juga." Laras tergagap.

Tiba-tiba bumi dan seisinya sunyi, saat kehangatan singkat tiba-tiba mendarat di bibir Laras. Kepala Laras membeku sejenak.

"Kita akan bertemu lagi, tunggulah. Kau cantik sekali, aku tidak tahan untuk tidak mencium dirimu."

Nico mengelus sisi wajah Laras lembut. Sebelum naik kembali ke kudanya dan melaju pergi.

Laras tidak tahan untuk tidak menutupi wajahnya yang terasa panas. Tadi begitu manis!! Apa-apaan, harusnya ia lahir di jaman ini saja daripada bertemu pria-pria kaku di masa depan!

Ia tidak bergerak dari posisinya sampai ada prajurit yang menemukannya. Ternyata seisi keraton sudah ribut dari tadi pagi. Mencari-cari dirinya yang tidak ditemukan di kamarnya.

Tapi Keraton sepertinya tidak membuat itu seperti masalah besar. Ah mungkin benar, mereka sudah terbiasa tuan putri mereka tiba-tiba hilang tidak bisa ditemukan.

oOo

cont.






Time Travel (Batavia's Journey) (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang