4. Tantangan

157 35 164
                                    

Apa pun. Jangan dianggap sepele. Bisa jadi ada penyesalan yang tidak lagi bisa diulang bahkan diperbaiki.

•••••

Sore ini, dengan santai hujan mengguyur Bumi. Membuat seluruh permukaan ini dibasahi oleh airnya. Dengan keadaan berdiri di permukaan halte, aku menjulurkan salah satu tanganku yang tidak terkena payung, membiarkannya sedikit demi sedikit basah oleh rintikan air.

Sejam yang lalu, aku baru menyelesaikan studyku. Masalahnya, tiba-tiba saja hari ini aku ingin pulang menaiki bus. Sudah lama juga.

Merasa ini semua kurang seru, aku menutup payungku, menjadikannya tongkat setelahnya. Hujan membasahi tak terlalu deras, mungkin aman jika aku hanyut keluar dari halte. Jalan kaki mungkin pilihan kedua jika aku tak kunjung mendapat bus.

Tungkaiku melenggang di tepi jalan. Melewati jalur hijau yang kini terlihat jauh lebih segar. Mungkin hujan tak selalu turun karena bukan musimnya, jadi, beberapa tanaman di sini agaknya mulai kering. Maha Baik Allah yang sudah menurunkan hujan.

Ketakutan mulai aku rasa saat mendengar langkah kaki yang sepertinya mengintaiku di belakang. Aku diam. Langkah itu juga ikut diam. Jika ia tidak mengikutiku, dia akan menyalip langkahku, ‘kan?

Kuberanikan diri untuk membalik badan, dan ....

“Hanif?” gumamku tanpa suara. Aku mengerutkan dahi, lalu memunggunginya lagi. Kok bisa dia ada di sini?

Sejak kapan dia di sana? Apa mungkin dia mengikutiku?

Ah. Keberadaannya di sini mengingatkan aku pada memori beberapa hari lalu. Di mana ada permainan menyebalkan yang membuatku harus menahan malu sendirian. Jadi,

Saat itu, kami sepakat untuk membawa bekal dari rumah, jadi, hari itu juga, kami malas pergi ke kantin. Merasa bosan karena tidak tahu harus apa lagi setelah menghabiskan bekal itu, akhirnya Kinara memutuskan untuk mengajak kami bermain permainan, mungkin bukan layak lagi jika disebut permainan. Ini tantangan yang mematikan.

Kinara menjelaskan, permainan ini juga salah satu cara untuk membantuku agar terlihat setara seperti mereka, tidak polos dan tidak lemot. Padahal, tanpa dipungkiri, aku menyukai diriku yang polos dan lemot. Lucu saja.

Namun, pernyataanku saat menyetujui permainan ini membuatku memakan sendiri. Hukuman paling menyebalkan yang selama ini tidak pernah bermuara dalam otakku. Bagaimana bisa ada permainan menantang seperti ini? Jauh lebih seram daripada roll coaster.

Katanya, menerima tantangan ini semua dapat membuatku lebih paham, apalagi mengenai cinta. Padahal sama saja. Karena paksaan, mau tak mau, ingin tak ingin, akhirnya aku menuruti mereka. Meskipun sebenarnya aku malas.

Permainan ini semacam truth or dare, tapi bagian truth mereka hilangkan begitu saja. Kini, giliranku untuk mengambil kertas yang sudah disiapkan oleh Kinara dari rumah.

Tanganku gemetar begitu gulungan kecil kertas sudah berada di tangan. Permainan yang biasa saja, tapi jantung seakan manusia tidak normal.

“Buka Ei!” mereka menyeru tak sabar. Perlahan aku membuka gulungan kertas itu. Tunggu. Aku ... tidak salah baca, ‘kan? Lututku lemas seketika.

Sembari menggeleng, aku meremas kertas itu dan menjatuhkannya ke lantai tak mau melakukan meskipun dare untuk teman-temanku sudah terlaksana. Bisa mati aku jika melakukan ini. Nggak, nggak mau.

Devina membungkuk, mengambil kertas yang sudah kuremas di lantai. Ia kemudian membacanya, "Bilang ‘aku mencitaimu’ ke Hanif." Aku merasa malu sekali saat kelima sahabatku hendak menertawakanku.

Menolak Bersama [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang