Epilogue

341 22 30
                                    

Dari banyak hal yang terjadi di dalam kehidupan, aku tidak punya alasan untuk tidak bersyukur, apalagi menyerah. Dunia adalah pertempuran sejak aku dilahirkan, dan perjuanganku baru dimulai saat aku tahu bahwa hidup bukan hanya soal bahagia.

Aku memang terluka, tapi bukan untuk rapuh, apalagi menyerah, tapi untuk bangkit dan memulai membuka lembaran buku baru yang semoga tak lagi sama.

•••••

Setelah kejadian pingsan saat itu aku sama sekali tidak bertemu Hanif. Dia seakan sengaja menghilang ditambah aku yang harus rehat selama beberapa minggu ke depan dengan kondisi yang tidak stabil ini. Ini menyusahkan.

Tiap pagi Amih selalu buru-buru ke sekolah untuk mengambil kertas ujianku selama sepekan. Ditambah salah satu pengawas juga pasti akan ke rumah untuk memantau ujian-ujianku. Bagaimana bisa aku terus-terusan menyulitkan kehidupan mereka?

Rasanya pingin menghilang dari bumi, tapi bukan mati. Aku masih belum punya apa-apa.

Setelah ujian hari ke tiga tadi, aku berinisiatif untuk mengajak Kak Ibra jalan-jalan di taman depan. Aku juga butuh vitamin D untuk hidup, bukan?

“Oke, sebentar aja,” kata Kak Ibra setelah kurayu-rayu. Aku mengangguk dengan antusias, lalu kembali memakai kerudung dan menggandeng tangannya menyebrangi jalan.

Dari banyak hal yang terjadi di dalam kehidupan, aku tidak punya alasan untuk tidak bersyukur, apalagi menyerah. Dunia adalah pertempuran sejak aku dilahirkan, dan perjuanganku baru dimulai saat aku tahu bahwa hidup bukan hanya soal bahagia.

Di bawah pohon yang rindang, aku dan Kak Ibra duduk sambil bersandar pada batangnya yang kokoh.

Aku menghela napas sambil menyorot pandang ke depan. “Suka bingung kenapa manusia bisa diciptakan kalau dia terus-terusan dikasih masalah,” kataku.

“Buat introspeksi diri, Dek. Selama ini ... kita udah deket belum sama Allah? Selama ini, kita udah menuhin semua perintah-Nya belum? Jelasnya, Allah kasih kita cobaan karena Allah mau kita terus mengingat-Nya. Itu artinya, Allah sayang sama kita.”

Aku menatap Kak Ibra. Dia memang benar. “Kadang kalau lagi dapet masalah, Eila suka nggak nyadar kalau kadang ngeraguin Allah.”

“Hem ... kayaknya kita kalau inget Tuhan tuh rata-rata pas lagi sedih deh, Dek. Kalau kita lagi bahagia tuh suka lupa,” kata Kak Ibra yang seketika membuat tenggorokanku tercekat. Tertampar.

“Kamu lagi ada masalah?” tanyanya. Aku menunduk sambil tersenyum remeh.

“Sedikit ada konflik salah paham sebelum Eila pingsan di sekolah. Ya ... agaknya emang harus diklarifikasi, Kak. Eila ... eung ... su–ka sama dia.”

“HAH? SUKA? DIA? DIA SIAPA, EI??!!”

“Suka sama–––.”

“Wait. Kakak pup dulu.” Kalimat yang hendak aku lontarkan menggantung begitu saja saat Kak Ibra bersorak seru.

Aku memutar bola mata malas. Pasti disuruh masuk ke rumah lagi. Ish.

“Eila nggak mau masuk ke rumah sekarang. Duluan deh, Kak. Nanti Eila nyusul,” kataku.

“Nggak! Ayo masuk. Kamu musti jaga kesehatan!” katanya sambil berdiri dan melompat-lompat seperti tak tahan akan sesuatu yang hendak ia keluarkan.

Menolak Bersama [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang