Bab 18 - Korban

115 20 25
                                    

Aku pikir hari ini semua bakal baik-baik saja, tapi nyatanya kehancuran itu lebih dulu menghampiri. Kacaku sudah retak. Apa bisa aku menyatukan serpihannya kembali?

I need someone to tell that, please.

•••••

Kakiku terus berlari dengan cepat. Gawat, aku sudah berada di ujung waktu. Tidak, aku tidak boleh telat. Aku tidak bisa menyia-nyiakan ini semua. Semua tugas hasil belajar kelompok kemarin aku bawa, tidak lucu jika aku terlambat datang. Terlebih dengan guru sekelas Bu Diva. Bisa babak belur aku.

Tidak peduli dengan tatapan guru-guru di sini, aku terus berlari sampai akhirnya masuk ke dalam kelas. Bu Diva menggantungkan salamnya. Telat sedikit. Untung pintu belum ditutup. Alhamdulillah.

Bu Diva memperhatikan aku dari atas ke bawah. Aku menunduk merasa bersalah dan malu. Ini buruk. “Eila?” aku mendongak. “Kenapa bisa telat?” tanyanya datar. Bu Diva memang cantik, tapi agak sadis.

“Saya tidak tau jam, Bu.”

Sungguh, siapa pun yang mengatakan bahwa aku berbohong dengan alasan klise adalah salah besar. Aku memang tidak tahu jam, aku tahu jam menunjukkan pukul lima pagi, tapi rupanya mataku yang salah melihat. Aku baru menyadari aku telat saat pukul tujuh kurang lima belas menit, amih sudah tidak ada di rumah. Beliau mengantarkan Lashif sekolah. Aku kira Lashif yang berangkat lebih pagi, rupanya aku yang kesiangan.

“Banyak alasan.” Bu Diva menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku jelaskan karena tiba-tiba aku merasa jantungku bedebar-debar.

“Ma–af, Bu.” Bu Diva mengangguk, lalu menyuruhku duduk. Tangan kiriku terus memegangi dada, sakit ya Allah. Aku menahan diri agar tak sampai merintih. Jangan pingsan Eila. Kamu kuat. Jangan kambuh.

Aku mendudukkan tubuh setelah mengucapkan terima kasih kepada Bu Diva. Dada kiriku begitu sesak. Aku kesulitan bernapas. Ya Allah sembuhkan aku. Sembuhkan. Tiba-tiba kepalaku pusing. Bu Diva yang mulai menjelaskan materi hari ini sama sekali tak masuk ke kepalaku.

Aku menggigit bibir bawah menahan sakit. “Eila, are you good?” suara itu membuat aku refleks menoleh ke bangku belakang. Hanif.

“Ei, kamu nggak papa?” tanya Yolanda yang ikut penasaran setelah mendapati aku menatap Hanif. Yolanda memegangi tanganku. “Ei, kamu pucet. Kita ke UKS, ya?” aku menggeleng.

“Nggak perlu. I’m good.” Semuanya gelap mendadak.

“Nur Eila Akbar!” samar-samar aku mendengar suara familiar itu meneriaki nama lengkapku.

Aku terbangun. Suasananya beda. Aku kira aku berada di UKS, tapi ternyata ... rumah sakit. Kuedarkan pandangan, amih langsung menggenggam tanganku. Ia menatapku nanar.

“Kamu buat Amih takut, Ei,” katanya bergetar. Amih menahan tangis.

“Mih, Eila nggak papa.” Aku menggenggam tangannya ikut menenangkan.

“Lain kali kalau kamu udah telat, kamu nggak usah masuk sekolah. Amih nggak mau kejadian ini keulang. Amih pikir kamu tadi lelah, kamu nggak mau sekolah, makanya Amih biarin, tapi kalau sampek gini lagi, Amih nggak tau Ei, Amih harus gimana. Kamu pingsan, kamu nggak sadar-sadar sampai Amih dapat telpon kalau kamu harus dilarikan ke rumah sakit. Hati Amih sakit. Amih jadi merasa——.”

Aku menghela napas gusar. “Mih, apa pun yang terjadi itu sudah menjadi skenario Allah.”

“Ya, I know, tapi Amih belum siap.” Aku tersenyum tipis. Eila juga belum siap, Mih. Aku mengedarkan pandangan. “Ayah mana?” tanyaku. Aku baru sadar ayah tidak di sini. Tolong jangan buat aku berpikir ia bersama selingkuhannya. Aku sudah lelah dengan ini semua.

Menolak Bersama [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang