Jangan pernah salahkan Tuhan atas semua hal yang terjadi dalam hidup ini. Karena hari ini kamu bisa bernapas, itu karena Tuhan, bahkan napas yang saat ini kamu punya, itu milik Tuhan.
•••••
Bola itu bundar, apa saja bisa terjadi dalam lapangan. Satu kalimat yang mampu membuat aku berpikir bahwa skenario Allah tidak akan pernah sama dengan skenario yang sudah kita susun sendiri.
Bu Diva berkunjung ke mari tempat sore hari aku berada di rumah sakit. Katanya saat mengetahui aku tidak sadarkan diri, Bu Diva tanpa aba menarik tangan Hanif yang memang saat itu mendapat titah untuk mengerjakan tugas di papan tulis.
“Eila, Bu Diva pamit, ya. Maaf untuk yang tadi.” Aku mengangguk sambil tersenyum lalu menyalimi tangan Bu Diva. Beliau memeluk sebentar, lalu meninggalkan amplop putih dalam genggaman. “Cepat sembuh, ya.” Aku mengangguk sambil mengucapkan terima kasih.
Setelah kepulangan Bu Diva, beberapa menit lagi kelima sahabatku mendadak datang membuat kisruh. “Mumpung ada temen kamu, Amih ke kantin sebentar, ya?” aku mengangguk.
“Hati-hati, Mih.”
“Iya sayang,” jawabnya sambil tersenyum, kemudian menatap kelima sahabatku bergantian. “Amih titip Eila sebentar, ya?” mereka semua mengangguk, amih melesat keluar ruangan.
Kinara menarik kursi mendekat ke ranjang, lalu mendudukinya. “Eila ... adduh, tau nggak sih tadi tuh ada apa di sekolah.” Aku menggeleng. “Ih, baper ....”
Aku mengerutkan dahi. Baper kenapa mereka?
“Hanif Ei Hanif ....”
“Kenapa dia?” tanyaku penasaran.
“Waktu kamu pingsan.” Aku berdehem. “Hanif nawarin diri buat gendong kamu karena Daus gentong nggak kuat gendong kamu. Masalahnya, dia tuh nawarin diri, bukan disuruh sama Bu Diva, kan melting.”
Hanif, why him? Seketika pikiranku melintas pada kejadian belajar kelompok kemarin. Kami saling tatap, lalu sama-sama tersenyum. Ini momen langka. Perasaanku semakin tidak karuan. Ya Allah. Apa aku memang tidak bisa move on dari anak itu?
“Jadi pingin punya cowo modelan Hanif. Udah cold, cool, care lagi. Tiga C banget nggak tuh?” kata Gisha. Ia tersenyum sendiri yang membuatku memasang muka bingung.
“Lama-lama jadi freshcare tuh anak. Awalnya dingin, lama-lama bikin panas juga,” sahut Laura tak acuh. Gisha memukul lengannya pelan.
“Sirik? Bilang bos.” Gisha tak terima, gadis itu kemudian kembali berkata, “Fresh care lama-lama juga ....”
“Fresh care lama-lama rasanya juga ilang.”
“Ilang-ilang juga ngobatin, wleee.” Gisha menjulur lidahnya sambil menarik dua pipinya dengan jari telunjuk.
Laura geram karena kalah berdebatan. Ia kemudian membuang muka, “Ye.”
Perdebatan sore ini cukup menghibur. Kami sama-sama terkekeh melihat perdebatan kecil antara Laura dan Gisha.
Devina menarik kursi di sebelah Kinara dan mendudukinya. Aku menatap ke arah langit. Seketika aku kembali ingat dengan kejadian yang tadi siang aku dengar. Kejadian menyakitkan yang membuat aku hancur.
La tahzan innallaha ma’ana. Jangan kamu bersedih, sesungguhnya Allah selalu bersama kita. Kalimat ini cukup menguatkan aku. Apa pun yang terjadi, menerima dengan ikhlas adalah satu-satunya jalan, tapi apabila Allah memberi kesempatan untuk kembali bersama, aku akan sangat bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menolak Bersama [END]
Teen Fiction[Teenfiction - Spiritual] "Tak akan mampu aku mengeratkan genggaman itu, jika hubungan ini sudah berada pada puncak kehancurannya. Terima kasih telah ada, meski dalam jiwa masih mengharapkan ragamu, tapi maaf. Hari ini. Aku menyerah." Menolak Bersam...