Bab 28 - Syafakallah

114 21 26
                                    

Poros hidup bukan hanya tentang bahagia.

•••••

Setengah kikuk aku terus menyusuri sekolah. Banyak pasang mata yang sorot memperhatikanku. Mungkin karena mereka jarang melihatku, wajar bukan?

Dalam hati aku mengucap bismilah. Kemudian membuka pintu kelas yang tertutup. Jantungku seketika berdegup kencang ketika riuh kelas meneriaki namaku. Namun, anehnya Yolanda, Kinara, Laura, Devina, dan Gisha berbeda. Mereka saling tatap, kemudian menatapku, eum ... sedikit aneh.

Tidak, jantungku malah semakin berdebar. Bukan karena tatapan sahabatku yang aneh, tapi Hanif. Iya, laki-laki itu berjalan mendekatiku. Jantungku kian berdebar saat jarak kami semakin dekat. Aku langsung buru-buru menggunakan teknik tarik dan menghela napas yang baik sesuai dengan yang dianjurkan dokter kemarin. Katanya menggunakan 4 7 8 detik akan lebih terasa relax.

4 detik menarik napas melalui hidung, 7 detik menahan napas, dan 8 detik menghela napas melalui mulut. Kulakukan sebanyak tiga kali dan semua kini kembali normal.

"Kamu duduk di samping aku," katanya saat jarak kami tinggal dua lantai. H-hah?

"Ei, mau duduk di mana lagi? Kelima sahabat kamu lagi nggak baik-baik aja," katanya meyakinkan, tapi malah membuat aku ngebug seketika. Apa maksudnya tidak baik-baik saja?

Dia menghela napas. "Nanti aku ceritain." Tidak ada pilihan lain selain menurut. Meski kini tatapan mereka semua menjadi aneh ke arahku dan Hanif. Semoga tidak ada yang berpikir macam-macam.

Aku melangkah menuju bangku kosong di sebelahnya. Terdengar bell masuk kelas berbunyi, Hanif yang semula bergerumbulan dengan teman-temannya langsung berjalan ragu ke arah bangkunya. Selama itu aku hanya diam mematung sambil menikmati degupan jantung yang kian tak normal.

Tatapan aneh dari sahabatku itu semakin membuat aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Tatapan mereka berbeda, tak seperti biasanya. Ada apa ini?

Hanif mulai mengambil duduk. Kami berdua menjadi salah tingkah tanpa sebab.

"Ei." Aku tersentak kala laki-laki itu memanggilku. Kumohon untuk kali ini biarkan jantungku aman, Hanif.

"Mama habis ini ke sini. Amih kamu yang minta. Guru-guru harus diberitahu soal ini," katanya.

"Kok Tante Maya, Amih nggak bisa ke sini?" tanyaku.

"Lashif nggak bisa ditinggal. Dia kecapean, sekarang nggak enak badan. Lagian bakalan butuh waktu lama kalau Amih kamu yang ke sini. Jarak rumah baru kamu lumayan buat nempuh waktu ke sekolah. Jadi, ya ... biar Mamaku aja."

Aku menganga mendengarnya berbicara panjang lebar. Ada apa dia? Kenapa dia jadi secerewet ini sekarang?

Aku menghela napas berat. Netraku kembali fokus pada tumpukan buku-buku yang isinya sudah tidak aku mengerti lagi. Aku tidak boleh pesimis. Aku pasti bisa, meski agak lupa sama rumus Fisika, Kimia, bahkan Matematika.

Pelajaran Matematika yang diisi oleh Bu Marwah berlangsung. Namun, saat baru mendapat seperempat jam, beliau harus pergi karena ada rapat mendadak.

Sungguh, kepergian Bu Marwah bukan membuat aku senang, tapi malah membuat aku kebingungan. Bagaimana aku tidak bingung, pertanyaan macam apa ini? Ada banyak sekali teori rumus yang tidak bisa aku kerjakan. Ya Allah.

"Kenapa?" aku tersentak kala suara berat khas Hanif terdengar sopan di telingaku. Dia melihat bukuku sebentar, lalu kembali berkata yang membuatku menganga. "Wajar kalau kamu nggak tau. Udah lama nggak masuk."

"Mana yang nggak kamu tau?" tanyanya. Aku menunjukkan empat nomor terakhir pada Hanif.

Hanif mengangguk, lalu mengambil buku yang isinya rumus-rumus, maybe itu buku rangkumannya. Dengan telaten Hanif mengajariku, tapi agak sedikit buyar karena satu sumber suara berhasil menarik perhatian kami.

"Tadi perasaan Bu Marwah bilang nggak boleh nyontoh, tapi kok ada yang nyontoh, ya?" dia yang berbicara ... Laura. Ada apa ini? Kenapa ia seperti tidak menyukaiku?

Hanif menatap Laura dingin. "Nggak nyontohin," katanya.

"Terus itu kalau nggak nyontohin apa?" tanya Laura. Hanif menghela napas gusar. Lalu kembali fokus pada bukunya.

"Idih, yang udah suka mah beda." Suara Laura semakin berat untuk otakku cerna. Ada apa sebenarnya? Mengapa semua menjadi sulit untuk dipahami?

"Sotoy banget jadi human," sarkas Hanif. Semua orang seketika menatapnya.

"Udah, Han," kataku menenangkan. Aku tidak mau kesan pertamaku buruk.

Tiba-tiba kepalaku terasa pening. Bukan karena penyakitku kumat, tapi saat melihat Hanif memegangi dadanya kuat. Astaghfirullah! Jangan-jangan aritmianya kambuh?

Sigap anak itu langsung menggeledah tasnya. Lalu menarik botol tuperware yang berisi air putih dan bergegas keluar kelas. Agak penasaran, ingin rasanya ikut keluar kelas, tapi takut semua menjadi buruk.

Aku menghela napas lega saat Hanif masuk ke dalam kelas dalam keadaan jauh lebih tenang. Aku jadi tidak tega untuk menyuruhnya mengajariku.

"Aku belajar sendiri aja, Han. Kamu fokus aja sama tugas kamu," kataku tak mau merepotkan. "Syafakallah," lanjutku.

Hanif menatapku sejenak, kemudian menggeleng. "Aku ajari kamu." Dia sangat pemaksa. Aku tidak bisa menolaknya!

Bell istirahat memekakkan telinga kami semua. Seluruh anak kelas berhambur keluar dari kelasnya masing-masing, termasuk dengan kelima sahabatku yang kini keluar kelas tak mengajak seakan semua sudah asing. Hanif hutang penjelasan.

"Aku tinggal keluar, Ei. Aku nggak bisa di sini. Kita bukan mahram. Nanti kalau ada apa-apa bisa telpon aku, kok," kata Hanif lalu keluar kelas. Bagaimana aku tidak menganguminya, jika dia saja selalu taat pada Tuhannya.

"Tapi kamu ada hutang penjelasan sama aku, Han."

"Aku bakal jelasin, tapi nggak sekarang." Setelah mengatakan itu dia langsung keluar kelas.

Hari ini rasanya sepi. Semua perasaan bergelut menjadi satu. Ada rasa aneh, bahkan sesak dalam dada. Biasanya aku tidak pernah sendiri, selalu didampingi oleh orang-orang super baik seperti Yolanda, Laura, Kinara, Devina, dan Gisha, tapi hidup tidak melulu soal bahagia, bukan?

Teruntuk Hanif. Kamu adalah manusia unik yang pernah aku temui. Sikapmu selalu membuat aku bingung. Rasa ini semakin terombang-ambing, tapi aku harap kamu akan selalu seperti ini. Sehat terus orang baik.

•••••

To be continued.

Hanif, terima kasih sudah menggantungkan harap kepada Eila.

Don't forget to touch star in bellow if you want to read the next chapter!

All rights reserved. Tag me on instagram @syadrabakri if you want to share special part or everything about this stories.

Indonesia, 6 April 2021 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur'an.

Menolak Bersama [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang