Mungkin jika tidak peduli, aku tidak lagi di sini.
•••••
Samar aku mendengar suara tangis diiringi dengan bacaan ayat suci Al-Qur'an. Aku masih tidak mampu membuka mata, tapi aku masih sadar, bahkan menangis karena bacaannya terlalu menyentuh hati.
Aku berusaha menggerakkan mulutku memberi aba-aba bahwa aku sudah sadar. "A-am ...." Seketika aku mendengar suara kursi saling bertabrakan.
"Eila? Eila, kamu sadar, Nak?" kata amih yang masih kudengar samar di telinga. "Ibra panggil suster!"
Ada Kak Ibra?
Pelan-pelan netraku terbuka. Ruangan yang sama, rumah sakit. Suara tangis masih bisa aku dengar. Mataku masih terasa berat untuk dibukakan. Namun, aku dapat melihat amih dan Kak Ibra yang kini berdiri beriringan di tepi ranjangku.
Tiba-tiba kepalaku terasa begitu nyeri. Tak sengaja aku meraung kesakitan, padahal awalnya aku ingin menahan agar tak membuat semua orang cemas.
"Sayang, ada yang sakit?" tanya amih khawatir. Satu tangan Kak Ibra mengelus tanganku, satunya lagi merengkuh bahu amih menenangkan. Dia kembali. Pasti hatinya saat ini juga tak kalah pedih dengan apa yang terjadi pada keluarganya.
Tanganku bergerak pelan ke atas memegangi dadaku yang terasa begitu nyeri. Aku merasa tubuhku dihimpit sesuatu hingga aku merasakan sesak, padahal bangsalnya cukup luas untuk aku tiduri sendiri.
"Biar kami cek pasien." Dokter datang membuat amih dan Kak Ibra memundurkan langkahnya. Aku tidak tahu dokter memeriksaku bagaimana karena aku tak terlalu memperhatikan.
"Apa yang sakit?" aku bahkan hanya bisa memegangi dadaku, aku masih belum kuat untuk berbicara. Aku kesakitan. Sembuhkan aku ya Allah.
"Kami harus melakukan diagnosis pada pasien dengan menggunakan CT scan. Apa Ibu setuju?"
"Lakukan apa pun untuk anak saya, Dok."
Dokter mengangguk, lalu menoleh ke arah suster. "Sus siapkan ruangannya untuk enam jam ke depan."
Dokter kembali menatap amih lagi. "Mari ikut ke ruangan saya untuk menyetujui pelaksanaan CT scan pada pasien karena Ibu walinya." Amih mengangguk, lalu ikut dokter keluar ruangan.
Kak Ibra mendekat ke arahku, dia menunduk lalu menyatukan keningku dengan keningnya. "Jangan buat Kakak takut, Dek." Ia melirih seperti memang benar-benar ketakutan.
"Kak ... udah tau masalah Amih, belum?"
Dia mengangguk. "Kamu jangan pikiran itu, yang terpenting kesehatan kamu. Kakak yakin mereka semua bakal baik-baik aja dan nggak akan berani main fisik, jadi kalau kamu masih sakit, tolong stay di rumah sakit. Jangan kabur seperti yang kamu lakukan tiga minggu yang lalu."
Tunggu, tiga minggu?
"Maksudnya tiga minggu apa, Kak?" tanyaku.
"Kamu koma." Koma selama tiga minggu? Tunggu. Saat kejadian aku bersama Hanif, 'kan? Astaghfirullah! Bagaimana keadaannya sekarang?
"Hanif???"
Kak Ibra tersenyum. "Hanif cuma luka ringan, sekarang dia udah sembuh, tiap malam dia selalu nengokin kamu ke sini, Dek. Dia merasa bersalah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Menolak Bersama [END]
Teen Fiction[Teenfiction - Spiritual] "Tak akan mampu aku mengeratkan genggaman itu, jika hubungan ini sudah berada pada puncak kehancurannya. Terima kasih telah ada, meski dalam jiwa masih mengharapkan ragamu, tapi maaf. Hari ini. Aku menyerah." Menolak Bersam...