Bab 10 - Khawatir

124 30 60
                                    

Kebohongan tak akan pernah abadi. Biarpun yang menyimpan sudah mati.

•••••

Jantungku seketika berdebar-debar mendengar bahwa beliau adalah mamanya Hanif. Itu berarti ... wanita di hadapanku ini bernama Maya?

Ini memang bukan kali pertama kita bertemu, tapi ini kali di mana kami bisa sedekat ini. Aku menunduk, merasa bersalah karena telah menepisnya. “Maaf, ya, Tante.”

Tangan hangat itu mengelus bahuku. “Nggak papa. Tante paham, kok.” Aku tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Beliau memang orang baik dan tulus.

“Eila kok bisa ada di sini, Tan?” tanyaku sambil mengedarkan pandangan. Mencoba mencaritahu kamar siapa yang kutiduri.

“Tadi kamu pingsan pas ada Hanif di halte. Katanya dia bingung mau bawa kamu ke mana, akhirnya dia bawa kamu ke sini. Kebetulan tadi ada mobil pengangkut sayur yang bantu ke sini.”

Aku menganga mendengar ini. Ternyata, di balik sikap dan sifatnya yang begitu menyebalkan, dia memang mempunyai hati yang baik. Beruntung untuk perempuan yang akan menjadi istrinya nanti.

“Tante tinggal bentar, ya?” aku mengangguk. Kepergian Tante Maya membuatku beranjak menuju meja belajar yang ada di sebelah pintu. Tasku ada di sana. Kudengar dering telepon yang berasal dari ponselku, aku mengambil ponsel itu dari dalam tas. Foto ayah tertera di sana. Itu artinya, ayah yang menelepon.

Agak bimbang, aku tidak tahu harus mengangkat atau mengabaikannya. Luka ini masih cukup perih untuk kembali banyak berinteraksi dengan siapa yang sudah memprovokasi hati.

Perbuatan keji dan tak bisa dimaafkan begitu menyulitkan aku untuk bisa berdamai dengan rasa sakit. Benar kata orang, mental seseorang diuji saat dia sudah memakai seragam putih abu.

Tanpa sadar, air mataku menetes. Patah hati anak perempuan adalah ketika hatinya dipatahkan oleh ayahnya sendiri. Another level of broken heart.

Pintu yang tiba-tiba dibuka seseorang membuatku langsung memalingkan wajah dan menghapus air mata itu.

“Ei. Dipanggil Mamah. Mau diajak makan bareng.” Hanif ternyata.

“Maaf, Han. Aku harus pulang,” kataku sibuk mengelap bekas air mata.

Laki-laki itu bergeming, kemudian pintu kembali tertutup. Tidak selang beberapa menit, pintu itu kembali terbuka, kini bukan Hanif, melainkan mamanya.

“Kok pulang? Makan sama-sama, yuk?” awkward. Aku tersenyum tipis. Kurasa, menolak ajakan orang yang lebih tua dari kita bukanlah hal yang sopan. Aku mengangguk, Tante Maya mengulurkan tangannya. Dengan ragu aku menerima uluran itu dan berdiri mensejajarkan tubuhku dengan beliau setelah meraba ponsel yang ada di sampingku.

Saat di meja makan, Tante Maya mendudukkan aku di kursi yang bersebelahan dengan adik perempuan Hanif yang juga berhadapan langsung dengan adik perempuannya yang lain yang pernah kutemui di restaurant.

“Mau lauk apa, Ei?” tanya Tante Maya setelah meletakkan sepiring nasi di hadapanku.

“Eila sendiri aja, Tan,” kataku sungkan.

“Nanti ngambilnya dikit lagi.” Tante Maya langsung meletakkan satu per satu jenis lauk-pauk yang ada di meja ke piringku. “Kalau nggak suka, taruh di pinggir-pinggir aja. Nanti Tante yang makan.” Aku mengangguk sambil mengucapkan terima kasih.

Menolak Bersama [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang