5. Janji

151 34 75
                                    

Jika sudah terikat janji. Maka jangan sesekali untuk berniat mengingkari.

•••••

Lidahku begitu keluh, mata ini tak berani menatapnya, bahkan kaki ini mematung. Jika tidak segera klarifikasi, aku takut akan ada perasaan lebih yang timbul di diri Hanif. Eh ... tunggu. Mana mungkin juga ‘anak itu’ ada perasaan lebih.

Laki-laki di hadapanku memundurkan langkah, membuat ada jarak di antara kami. “Eila. Diammu memberikan aku jawaban kalau ini nyata.” Seketika aku mendongak. Kesimpulan macam apa, ini?

Percaya diri sekali. Aku yang sedari tadi diam saja tak pernah berpikir bahwa jawabanku adalah ‘iya’. Kalinini, tak bisa aku biarkan kami berdua berlarut dalam kekonyolan yang dibuat teman-temanku. Aku menggeleng tanda tidak untuk kesimpulan gilanya itu.

“Lalu?” tanyanya dengan memicingkan mata.

Satu pertanyaan yang saat ini harus dipecahkan. Hanif itu dingin, mengapa mau repot-repot mencari jawaban tidak penting ini?

Kupegang tasku kuat-kuat. Jawaban sudah ada, tapi mengapa sulit sekali untuk meloloskannya. Dasar labil.

Sorot mata itu tak lagi mengintaiku. Dia menatap langit, sesekali turun ke bawah untuk melihat aspal yang basah, kurasa aspal itu jauh menarik daripada aku.

Aku menarik napas dalam-dalam. Sesegera mungkin problem tak jelas ini harus segera tuntas.

“Ini tantangan.”

Pemuda itu langsung menatap ke arahku. “Tantangan?” aku mengangguk.

Hawa dingin mulai terasa, tidak, bukan karena hujan, tapi tatapan mematikan itu membuat jantungku seakan ditusuk dan tak lagi bernyawa. Kedua tanganku menyilang dan saling bertumpuk, mengelus pelan berusaha menghangatkan tubuhku.

Untuk kedua kalinya aku mengangguk karena merasa anak itu masih bingung. “Kami bermain dare tadinya. It’s just a challenge. Maaf, ya.” Sedikit, dalam benak ada rasa bersalah karena telah mengganggu kenyamanannya.

Mungkin saat ini dia sedang mencerna. Detik selanjutnya ia mengangguk dan pamit untuk pulang. Dia berjalan mendahuluiku yang masih diam di tempat. Aku melihat punggungnya hingga dia memberhentikan taksi kosong yang kebetulan lewat.

Sejenak dia menatapku dengan tatapan yang sulit aku mengerti. Lantas masuk ke dalam taksi begitu saja. Ada apa dengan dirinya? Apa jawabanku membuatnya kecewa? Tidak mungkin! Begidik bahu tidak mengerti. Akhirnya aku kembali berjalan.

Ternyata sopir taksi lebih berpihak kepada Hanif. Mereka melenggang, hingga kulihat taksi itu mulai mengecil dan tak lagi terlihat dari sini.

Kuseberangi jalanan beraspal yang membentang luas. Kurasa masih lama lagi jika harus menunggu bus. Bisa-bisa aku menginap di sini, percis seperti gelandangan.

Getaran ponsel yang kuletakkan di saku seragam membuatku seketika merogohnya dan melihat ada nama amih yang sedang menelepon.

Connection.

Eila. Ada di mana? Kok belum pulang sih?”

“Maaf Mih. Ini Eila lagi nunggu bus. Lagi pingin soalnya, tapi nggak dateng-dateng.”

Kenapa nggak telpon Amih aja sih. Yaudah, kamu di mana sekarang, Amih ke sana.”

Kuedarkan pandangan ke arah sekitar. “Eila ada di depan ruko seberang jalur hijau tuh. Dekat dengan halte yang enam meter dari gerbang sekolah Eila.”

Setelah mengucapkan salam, Amih memutus sambungan telepon denan sepihak.

Aku meletakkan secara susun kedua tanganku di depan dada. Lama-lama dingin juga.

Menolak Bersama [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang