Mendukung totalitas segala kekurangan dan kelebihan karena sadar merasa insecure itu bukan suatu pilihan, apalagi jalan.
•••••
Hasil tes MRI beberapa hari lalu dikabarkan hari ini akan keluar. Itu artinya aku harus bisa mempersiapkan mental dengan kemungkinan buruk yang akan terjadi setelah ini. Jantungku terus berdebar-debar. Aku takut akan kecewa. Bagaimana ini?
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka menampilkan Laura dan Yolanda yang sedang berdiri di ambang pintu. Hanya mereka berdua? Ke mana yang lain?
Keduanya mendekati bangsal setelah Yolanda menutup pintu rumah sakit. Kak Ibra geser keluar ruangan dan memberi ruang untuk sahabatku di sini.
“Eila, how are you?” tanya Laura. Dia sesekali mengitari ruangan ini sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“I’m good. Alhamdulillah, thanks. You both?” tanyaku.
“Surely we good. Alhamdulillah,” jawab Yolanda mewakilkan.
Seperti biasa, mereka berdua sama-sama menarik kursi yang disediakan untuk pengunjung maupun penunggu pasien lalu mendudukinya.
“Ei, kamu tau nggak kalau kecelakaan kamu tiga minggu yang lalu berhasil buat satu sekolah gempar. Apalagi saat tau kalau kecelakaan itu adalah kecelakaan tunggal yang korbannya adalah kamu dan Hanif.” Kecelakaan tunggal?
“Kecelakaan tunggal itu bisa terjadi karena jalan lagi licin karena baru aja diguyur hujan. Lebih kasiannya, Hanif nggak mengalami luka serius, sedangkan kamu sampe koma. I feel him. Dia waktu sekolah kayak dipenuhi rasa bersalah, bahkan dalam tiga minggu terakhir nggak pernah fokus. Selalu murung. Dia kesepian.”
“Lagian kenapa kok bisa kamu sama Hanif satu mobil, Ei?” tanya Laura setelah Yolanda menutup mulutnya
Aku menunduk, tentu saja merasa bersalah juga. “Harusnya aku yang salah. Aku yang maksa dia buat jemput aku karena ....”
“Karena?” serempak Yolanda dan Laura.
“Karena Hanif adalah satu-satunya orang yang tau masalah keluarga aku, dan aku nggak tau lagi harus minta bantuan sama siapa lagi kalau bukan dia. Aku nggak mau semua orang tau masalah keluarga aku. Just him.”
“I feel you Eila, tapi kita akan sangat senang kalau kamu mau berbagi masalah sama kami. Jangan pendam,” kata Yolanda.
“Aku nggak pendam, I just need a time. I hope you two understanding me,” kataku membalas Yolanda.
“Kita akan selalu ngertiin kamu,” kata Laura sambil menepuk kecil kakiku.
Perhatian kami teralih ke pintu. Dokter masuk dengan ... ayah. Kenapa pria itu ada di sini?
“Mohon maaf. Pihak rumah sakit akan menjelaskan hasil dari tes pasien Eila kemarin. Dimohon untuk yang bukan keluarga silakan keluar,” kata Dokter Yama sambil menangkupkan kedua tangannya.
Sejenak Yolanda mengelus kakiku. “Get well soon.” Aku mengangguk, lalu mereka berdua tersenyum dan lenyap dari ruangan ini.
Semula hening, tapi ayah memecahkan itu. “Apa kabar Eila?”
Aku menatapnya, lalu membuang muka setelah memutar bola mata malas. “Not okay.”
Suster masuk ke ruangan. Dokter langsung menitahkan untuk mencari amih dan Kak Ibra untuk ada di ruangan ini karena hasil MRI kemarin akan dijelaskan hari ini oleh dokter. Lima menit berlalu, tiba-tiba aku mendengar keributan di luar. Seperti cekcok antara amih dan Kak Ibra.
Samar-samar aku mendengar amih berkata, “Ib! Amih nggak bisa kalau membiarkan harus tau kalau misalnya dia punya penyakit lain. Kita bisa atur dokter untuk nggak memberitahu ini ke Eila. Kita——”
Aku tidak mendengar apa-apa lagi saat ayah mengambil langkah keluar dan sepertinya mengajak amih untuk segera masuk ke dalam ruangan karena dokter sudah menunggu.
“Maaf lama, Dok,” kata Kak Ibra sambil melempar senyum ke arah Dokter Yama.
“Tidak masalah,” kata Dokter Yama. Beliau melirik ke arah kami bergantian, lalu mengambil amplop coklat yang dibawa suster. “Bisa saya jelaskan sekarang?” tanya Dokter Yama. Kami semua mengangguk meskipun amih terlihat tegang, bahkan seperti tidak ingin diberitahu sekarang.
“Sebentar, Dok,” kataku yang membuat Dokter Yama mengangguk. “Mih, I’m okay. Justru kalau Eila nggak tau penyakit Eila, Eila nggak akan bisa waspada dan makin awur-awuran.”
Amih menunduk. “Mih, apa pun yang akan terjadi, kekecewaan akan menjadi suatu hal yang pasti untuk Eila, tapi jangan berpikir kalau Eila akan patah semangat, apalagi down untuk sembuh. No. Jangan seperti itu. Eila harus tau.”
Kak Ibra mengelus bahu amih menenangkan. Perlahan kepala wanita itu mengangguk dan menatapku. “You promise me?” tanyanya.
“Ya. I’m promise.”
“Bisa saya mulai?” tanya Dokter Yama.
“Silakan, Dok.”
“Baik, terima kasih. Pusing yang dialami Eila terjadi karena faktor aritmia yang diidapnya. Tidak ada hal serius selain aritmia yang sudah ada jauh sebelum kecelakaan terjadi. Jadi, kondisi pusing yang terasa sangat berat memang terjadi karena penyakitnya sendiri. Namun, di sisi lain ada cedera ringan yang sekarang sudah aman untuk kondisi Eila sendiri,” terang Dokter Yama.
“Kalau aman, kenapa anak saya sempat koma ya, Dok?” tanya ayah yang mewakilkan aku.
“Pertanyaan yang berbobot, Pak.” Sejenak Dokter Yama menelan ludahnya, lalu menatap kami semua bergantian. “Ya. Eila mengalami cedera kepala ringan akibat benturan yang terjadi saat kecelakaan itu. Dia sempat sadar setengah jam, lalu kembali hilang kesadaran karena menurunnya aktivitas di dalam otak. Hal itu yang menyebabkan dia koma.”
“Ada pertanyaan lagi?” kami menggeleng. “Kalau begitu saya dan suster permisi. Saya harus visit pasien lain.” Kami mengangguk, Dokter Yama dan suster melesat dari ruangan ini.
Ayah mendekat. “Eila,” panggilnya. Nada bicaranya masih sama, hangat. Memang tidak ada mantan ayah, tapi dia laki-laki pertama yang membuat duniaku hancur dalam sekejap. “Ayah minta maaf. I’m so sorry for everything, but over all, I always pray the best for you, for you big bro, and for you lil brother.”
Masalahnya Ayah udah berani buat kita semua terluka. Kami kehilangan diri Ayah yang dulu.
“Kamu cepat sembuh, ya. Dari jauh, Ayah pasti doain kamu. Sekarang Ayah harus pulang——”
“Ke rumah selingkuhan atau ke pangkuan selingkuhan?” pancingku yang langsung digertak pelan oleh amih. “Ya, silakan. Makasih udah punya waktu buat ke sini, meski liat Ayah vibesnya sudah berbeda.”
“Maaf kalau kejujuran Eila buat Ayah sakit, tapi soal perasaan Eila memang lemah.”
Jujur aku bingung. Merasa murung dan kesepian bak terkurung. Rasa itu terus datang menyelubung.
Pasrah telah aku tapaki. Sulit sekali untuk memahami. Memasrahkan segalanya bukan menyerah, hanya saja aku beristirahat karena lelah.
Semua memang bergantung pada takdir dan waktu. Biar keduanya menjadi penentu. Pastinya dengan kuasa Allahu. Aku percaya bahwa semua pasti akan berlalu. Walau kadang sering mengeluh.
Kini memang letih. Istirahat adalah langkah yang harus dipilih. Aku juga sadar, istirahat boleh, tapi jangan berhenti. Aku harus berjalan. Terus mencari kebahagiaan. Mendukung totalitas segala kekurangan dan kelebihan karena aku sadar merasa insecure itu bukan suatu pilihan, apalagi jalan.
Sungguh, aku memang tidak bisa memungkiri bahwa sering kali aku merasa telah menyusahkan banyak orang. Sedih, tapi mau bagaimana lagi?
Lelah, tapi tidak boleh menyerah. Kalimat ini hanya umpan untuk aku tetap melanjutkan hidup. Jika bukan diri sendiri menguatkan, siapa lagi?
Merasa lelah adalah hal yang lumrah. Kita bukan robot, kita punya bobot. Jadi, semangati diri sendiri dan kurangi rasa tidak percaya diri.•••••
To be continued.
Muslim people pasti baca Al-Qur’an. Jangan lupa baca, ya. Tiap chapter sudah saya ingatkan untuk selalu memperioritaskan Al-Qur’an. So, apabila kalian di akhirat menarik saya karena membaca cerita ini, saya sudah ingatkan dari awal chapter. Terima kasih.
All rights reserved. Tag me on instagram @syadrabakri if you want to share special part or everything about this stories.
Indonesia, 3 Maret 2021 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menolak Bersama [END]
Teen Fiction[Teenfiction - Spiritual] "Tak akan mampu aku mengeratkan genggaman itu, jika hubungan ini sudah berada pada puncak kehancurannya. Terima kasih telah ada, meski dalam jiwa masih mengharapkan ragamu, tapi maaf. Hari ini. Aku menyerah." Menolak Bersam...