Bab 16 - Tentang Eila

122 24 37
                                    

Kenyataan pahit adalah awal mula kamu didewasakan oleh keadaan.

•••••

Dunia memang penuh misteri. Ada hal yang menurut kita adalah orang pertama yang mengetahui, tapi ternyata ada yang lebih dulu tahu. Jadi, pelajarannya jangan bersikap langit karena kita hanya tanah yang diberi nyawa.

Keadaan di sekitar membuat aku mengeluarkan air mata sejak kemarin malam. Kehidupan ini benar-benar melenceng jauh dari ekspektasiku. Ini menyakitkan kalau aku boleh jujur. Rasanya seperti sedang mengupas kulit sendiri. Ada nyeri di mana-mana.

Tanganku memegang kuat nakas. Saking sakitnya aku tidak kuat untuk berdiri dan tiba-tiba saja semakin lemas dan hanya bisa terduduk lemah. Kepalaku sangat pusing. Entah apa yang terjadi aku tidak tahu. I feel I’m not okay. I’m bad.

Jantung ini semakin berdebar-debar terlebih diserang efek kejut karena tanganku tak sengaja menyenggol vas bunga yang ada di nakas dan pecah. Amih yang menyadari aku seketika menghempaskan banyak pakaian di tangannya dan berlari ke arahku.

“Eila kamu kenapa?” aku masih fokus pada rasa sakit ini. Allah jangan buat aku lemah sekarang. Aku ingin terlihat kuat di hadapan amih. Baru berdoa tiba-tiba semuanya gelap.

Hal pertama yang aku lihat saat membuka mata adalah langit kamarku, lebih parahnya aku menangis tanpa aku tahu penyebabnya apa. Saat netra ini menangkap amih pun, rasa nyeri itu masih ada. Aku bisa melihat apa yang ia rasakan. Berat.

Beliau mengelus lembut tanganku sambil tersenyum. Ia seakan-akan menyalurkan kehangatan untukku.

“Amih kenapa rahasiain ini ke Eila?” tanyaku. Pertanyaan ini sudah lama aku simpan. Mungkin sudah saatnya untuk diloloskan.

“Merahasiakan apa?” tanyanya seolah tak mengerti, tapi maaf, mih. Ini bukan saatnya untuk menyangkal.

“Eila udah tau semuanya, kok.”

“Tau apa?”

“Eila punya penyakit jantung, ‘kan?”

Amih terdiam. Dia menatapku dengan air mata yang kini membendung. Kini air mata itu menetes. Rasanya sakit melihat amih meneteskan air mata di hadapanku. Amih mencium tanganku. “Ei, Amih nggak mau buat kamu sedih karena ini, Amih takut kesehatan kamu akan berantakan kalau kamu banyak pikiran.”

“Tapi ini semua malah buat Eila kepikiran.” Amih mengangguk, ia mencium tanganku lagi.

“Maaf, ya. Amih tau Amih salah, Amih cuma nggak mau kamu kepikiran dan berpengaruh pada kesehatan kamu, Amih minta maaf.”

“Its okay, Mih. Its okay. Eila nggak papa.”

“Kamu tau ini dari mana?”

“Eila denger ini semua dari dokter yang waktu itu datang ke rumah buat meriksa Eila padahal Eila ngerasa nggak papa waktu itu.”

Jika kondisi pasien tidak memungkinkan untuk diatasi di rumah, sebaiknya dibawa ke rumah sakit. Karena pemilik penyakit jantung akan sangat berbahaya jika tidak ditangani lebih lanjut.” Percakapan itu secara tidak sadar menunjukkan aku adalah penderita penyakit jantung, ‘kan?

Menolak Bersama [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang