Bab 12 - Privacy

107 26 41
                                    

Sedingin apa pun laki-laki, jika dia bertemu dengan perempuan yang tepat, dia akan mencair karena baru saja dihangatkan oleh Mataharinya.

•••••

Jangan lupakan bahwa kita hidup di dunia ini tidak sendiri. Begitu juga dengan berita yang Devina bawa tadi. Kelima sahabatku menjadi tahu bahwa kemarin aku berada di rumah Hanif. Asem memang Devina.

Mereka semua saat ini menggeluti aku dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan yang membuatku malas, dijelaskan bukannya berterima kasih malah tidak percaya. Aneh. Mungkin berita ini cukup heboh, tapi ini kenyataan, tidak ada rekayasa di dalamnya.

“Masalah aku pingsannya karena apa, itu pasti ada sesuatu, tapi maaf, aku nggak bisa cerita. Ini aib.” Aku sangat membatasi berita ini agar tak sampai ke mulut dan jari-jari orang yang jahil. Ini tentang ayah, meskipun aku membencinya, apa harus dengan menyebar aibnya? Tidak.

Diri ini masih paham, bagaimana Allah akan mengumbar aib seseorang apabila orang itu senang mengumbar aib orang lain. Seperti dalam hadits Ibnu Majah, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, Allah akan menutupi aibnya sampai pada hari kiamat, dan barangsiapa yang mengumbar aib seorang muslim, maka Allah akan mengumbar aibnya hingga terbukalah kejelekan di dalam rumahnya.”

Meski terlihat agak kecewa. Kelima sahahatku mengangguk. Ini yang aku suka dari mereka; lebih paham bagaimana cara menghargai privacy orang lain. Karena terkadang apa yang ingin kita tahu adalah kesalahan orang lain yang tak layak untuk diceritakan.

Karena arah rumahku dengan sahabat-sahabatku saling berlawanan, maka sudah menjadi resikoku untuk menunggu bus, ojol, atau taxi online sendirian. Mereka sudah pasti pulang, dulu awal-awal mereka memaksa ingin menemani, tapi aku yang tidak enak hati karena terlalu merepotkan mereka. Toh sudah waktunya pulang. Mereka juga pasti membutuhkan istirahat.

Aku mendekat pos satpam dan menduduki kursi yang ada di depannya. Tiba-tiba motor yang aku kenali milik siapa berhenti tepat di depanku.

“Nunggu bus apa ojek?” tanyanya. “Kamu yakin pulang naik bus lagi?”

Aku menggeleng. “Enggak. Ini lagi nunggu Amih, kok. Kenapa memang?” tanyaku balik. Kali ini dia yang menggeleng. GR sebentar boleh, nggak, ya?

“Ei, Ei.” Aku menoleh, “eita terangkanlah ... eita terangkanlah ....” Hanif terkekeh, sebelum akhirnya melajukan motor. Sinting, tapi aku——bahagia.

Kata orang, sedingin apa pun laki-laki, jika dia bertemu perempuan yang tepat, dia akan luluh karena baru saja dihangatkan oleh Mataharinya. Apa benar?

—————

Pada dasarnya, setiap luka memang memiliki banyak cara untuk disembuhkan. Apa pun, apabila kita dekat dengan Sang Pencipta, semua keluhan yang ada dalam diri seakan hilang, bahkan solusinya terasa begitu dekat.

Kulipat mukena seperti roti gulung dan memasukkannya kembali ke dalam laci agar tetap bersih, tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Jantungku mendadak terasa berhenti berpacu saat melihat siapa orang yang kini ada di ambang pintu.

Dia tersenyum. Senyuman yang awalnya kuanggap sebagai keteduhan, kini balik haluan menjadi hal yang paling aku hindari karena terlalu menyakitkan.

“Eila.” Ia memanggil lembut, aku bingung, apa sedikit saja tidak terlintas rasa bersalah pada benaknya bahwa dirinya telah berkhianat? Bukan hanya pada perasaan istrinya, tapi juga perasaan anak-anaknya.

Menolak Bersama [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang