Manusia tidak memiliki alasan untuk tidak bersyukur.
•••••
Setelah kejadian hari itu aku merasa hubungan keluargaku dengan keluarga Hanif semakin dekat, bahkan saat jadwalku ke dokter hari ini malah Tante Maya yang mengantarkan karena Amih tidak bisa, beliau harus menghadiri rapat wali murid di sekolah Lashif, niatnya mau Kak Ibra yang mengantarkan, tapi Tante Maya memaksa. Kami jadi tidak bisa berbuat banyak.
Keluarga Hanif memang baik-baik. Mewakilkan keluargaku, aku bangga dan bersyukur telah mengenal orang sebaik keluarga mereka.
Tidak hanya Tante Maya yang mengantarkan aku, tapi juga adik Hanif yang bernama Faniya. Dia baru masuk SMP setahun yang lalu. Dia baik, duplikatnya Hanif versi perempuan, bahkan dia yang excited saat hendak mengantarkan aku kontrol.
Di perjalanan, Faniya yang semula diam tiba-tiba memanggilku, aku menoleh. Ia kemudian bertanya, “Pelajaran SMA susah, nggak?” tanyanya yang berhasil mengundang tawa kecil dariku.
“Susah-susah gampang sih, Fan. Cuma ya pasti dijelasin kok sama gurunya. Jadi, mulai sekarang kamu persiapin diri aja. Karena selama Kakak sekolah kuncinya ya ‘paham’ sama materi. Jangan malu buat bertanya, nanti sesat di jalan,” jelasku.
Dia mangut-mangut. “Kakak mirip banget sama Bang Hanif. Satu-satunya kunci kata ‘sulit’ itu ‘paham’. Semoga kalian jodoh deh,” katanya sambil tertawa cekikikan. Sabar.
“Dalam semua persoalan kan memang ada yang susah dan yang mudah. Yang kita bilang mudah pasti ada fase susahnya, begitupun sebaliknya. Jadi, nggak bisa dipukul rata,” imbuhku.
Setelah banyak menghabiskan waktu di jalan akhirnya kami sampai di gedung menjulang tinggi dengan nuansa khasnya, yaitu putih dengan biru laut. Turun dari mobil, tiba-tiba kakiku terasa begitu lemas. Ya Allah jangan sekarang.
Jantungku mendadak kerja dengan kecepatan di atas rata-rata. Keseimbanganku mulai goyah, hampir saja terjatuh kalau Faniya tidak buru-buru memegangiku. Jangan nyusahin sekarang, Ei. Ayo, kamu harus kuat!
“Eila, kamu nggak papa?” tanya Tante Maya yang langsung sigap merengkuh tubuhku. Suaranya begitu tenang masuk ke telinga seakan paham yang aku rasakan sekarang.
Saat ini aku tidak bisa melakukan apa-apa, bahkan hanya untuk menggeleng. Aku memejamkan mata menikmati setiap degupan jantung yang memompa lebih cepat. Sesekali aku memegangi kepalaku karena terasa begitu nyeri.
Agaknya Tante Maya menyadari apa yang terjadi denganku. Beliau buru-buru memanggil suster dan menitahkannya membawa kursi roda untukku.
“Anak saya mengidap aritmia, Sus,” kata Tante Maya yang berhasil aku dengar sebelum semuanya menggelap dan bangun-bangun aku sudah berada di suatu ruangan yang tidak asing, rumah sakit.
Setelah mereka menyadari aku sudah sadar, Faniya buru-buru menekan tombol darurat agar dokter dan suster segera ke ruangan untuk memeriksa. Beberapa menit kemudian, seorang dokter ke ruangan dan melakukan pengecekan denyut nadi yang kemudian beralih ke detak jantungku.
“Alhamdulillah. Kondisi anak Ibu membaik, beruntung tadi Eila segera diberikan alat pacu jantung. Allah masih sayang Eila,” kata dokter tersebut. Seketika aku merasa bersyukur. Ternyata sehat adalah bagian nikmat yang harus kita syukuri.
“Alhamdulillah, terima kasih, Dok,” kata Tante Maya yang diangguki dokter itu.
“Setelah administrasinya sudah diselesaikan, Eila boleh pulang,” kata dokter. “Oh, atau mungkin ada jadwal kontrol hari ini?”
“Iya, ada, Dok,” jawab Tante Maya mewakilkan.
“Wish you luck, Eila.” Semangat dokter itu sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruangan.
Faniya tiba-tiba mendekat ke telingaku. Ia berbisik, “Mamanya Fani udah anggep Kakak kayak anaknya sendiri. Siap-siap dapet lampu ijo, Kak,” katanya yang kontan membuatku membulatkan mata sempurna. Ngomong apa dia barusan?
“Melting ya, Kak?” godanya sambil mengedipkan salah satu matanya. Sinting. Faniya tertawa, “Sans, Kak. Bagus dong kalau direstuin, mah.”
“Fani bantu Kak Eila, ya. Mama mau urus administrasi dulu,” kata Tante Maya kemudian diangguki Faniya.—————
Hari kian berganti. Pagi ini aku sangat bersemangat menjalani hari. Aku akan segera hidup normal seperti biasanya. Setelah meletakkan tas di samping kaki kursi, aku langsung mengambil roti yang berjajar di sana sambil mengoleskan selai stoberi.
“Dengerin kata Amih yang kemarin, Ei,” kata amih sambil menyiapkan sarapan untuk Lashif.
Aku mengangguk. “Eila inget kok. Nggak boleh capek, nggak boleh banyak pikiran, dan nggak boleh maksa diri buat bisa ngelakuin sesuatu, ‘kan?” kataku mengulang semua yang amih katakan kemarin.
Beliau mengangguk. “Good girl.”
Setelah menyelesaikan sarapan, aku mengambil tas yang semula tergeletak di lantai dan memakainya ke punggung. Aku menyalimi tangan amih, kemudian naik ke motor vario abu-abu yang sudah dipanasi Kak Ibra. Ia hendak mengantarkan aku pagi ini.
Di depan gerbang sekolah, aku turun kemudian menyalimi tangannya. “Ei, kamu harus turutin kata Amih yang tadi kamu sebutin. Kakak nggak mau semuanya kacau, ya? Kamu harus nurut. Kamu anak baik, ‘kan?”
Aku mengangguk sambil tersenyum. “Eila bukan anak kecil yang suka bandel sama ibunya, Kak. Percaya deh, Eila kan anak kuat. Eila is strong woman!” kataku percaya diri.
Kak Ibra mengelus puncak kepalaku yang terbalut hijab. “Yaudah, hati-hati, ya. Perlu Kakak anter sampai ke dalem?”
Aku menggeleng. “Enggak usah. Eila mandiri, Kak.”
Dia mengangguk. Aku kemudian pamit masuk ke dalam kelas. Kini, tidak ada alasan untuk aku tidak tersenyum. Tidak ada alasan untuk aku murung. Meskipun dalam kondisi seperti ini, Tuhan masih berbaik hati dengan memberikan support system terbaik, keluarga dan orang sekitarku. Mereka semua baik. Terima kasih, Tuhan.•••••
To be continued.
Eila beruntung, ya? Buat kalian yang lagi di titik terendah, stay remember bahwa masih ada banyak hal yang harus kita syukuri. Right?
All rights reserved. Tag me on instagram @syadrabakri if you want to share special part or everything about this stories.
Indonesia, 3 April 2021 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menolak Bersama [END]
Teen Fiction[Teenfiction - Spiritual] "Tak akan mampu aku mengeratkan genggaman itu, jika hubungan ini sudah berada pada puncak kehancurannya. Terima kasih telah ada, meski dalam jiwa masih mengharapkan ragamu, tapi maaf. Hari ini. Aku menyerah." Menolak Bersam...