Ketika memutuskan untuk jatuh cinta, maka harus siap dengan segala lukanya.
•••••
Sudah tiga hari menjalankan hasrat konyol ini, tapi yang kudapat ialah Hanif yang semakin hari semakin dingin. Definisi dikasih hati, minta jantung. Bagaimana sih Hanif ini?!
Namun, aku sadar. Jatuh cintanya seorang perempuan tidaklah instan. Terlebih ia sempat memiliki masa lalu yang suram. Sebenarnya, ini bukan pengetahuanku, tapi melalui sumber dari internet yang kubaca kemarin malam. Kabarnya, seorang perempuan Indonesia tidak mudah jatuh cinta karena berbagai alasan.
Pertama, bukan menjadi prioritas utama. Sebagian perempuan Indonesia selalu ingin diprioritaskan. Terlebih lagi dengan seorang laki-laki yang berstatus sebagai suami, pacar, atau bahkan gebetan. Akan tetapi, berbalik arah, karena mereka sadar, bahwa mereka bukanlah prioritasnya. Hal ini, lebih membuat perempuan tidak terlalu mudah untuk menjatuhkan hati pada laki-laki.
Kedua, terlanjur terlukai. Sebagian perempuan Indonesia akan mudah merasa takut, seperti trauma, minder, atau sejenisnya akibat pernah dilukai oleh laki-laki. Hal ini memicu seorang perempuan sulit sekali untuk kembali jatuh hati untuk kesekian kali.
Ketiga, merasa tidak dianggap. Sebagian perempuan Indonesia tentunya akan kecewa ketika laki-laki yang sudah membuatnya jatuh hati ternyata menganggapnya tidak ada. Berbalik pada alasan kedua, ini juga memicu adanya jenis-jenis ketakutan untuk jatuh hati kembali.
Tiga penjabaran di atas sama sekali bukan diriku. Tak pernah aku merasa gagal dalam ‘membangun cinta’, hanya rasa ‘ingin’ belum merasuk dalam tubuh. Lagi pula, memutuskan untuk jatuh cinta harus siap dengan segala luka yang nantinya akan menghadang, bukan?
—————
Percaya atau tidak, aku tidak menyukai tanggal bewarna merah yang selalu ada di setiap minggu, namanya Minggu. Hari itu, bukan saat di mana aku harus merebahkan diri di kasur. Meskipun pekerjaan rumah tidak berat, tapi aku tidak menyukai Minggu. Karena Minggu, aku jadi tidak bisa bersekolah.
Ketika Minggu menjadi hari yang orang-orang tunggu, justru Senin yang menjadi hari yang aku tunggu. Aku normal. Hanya saja berbeda. Dulu, saking tak maunya ada hari Minggu, jika Allah beri keajaiban, aku akan menghapus minggu itu sama seperti di serial bollywood Ballveer.
Apa aku tidak bosan dengan tugas?
Rasa bosan pasti ada. Terlebih masa depan menjadi taruhan. Namun, aku percaya, semua itu proses. Hasil akhir bukan dinilai dari keberhasilan yang didapat, tapi dinilai dari prosesnya.
Hari ini kedua orang tuaku mengajak kami semua untuk refreshing. Seperti biasa, aku menolak mentah-mentah. Hobiku bukan berkeliling, meskipun orang-orang sering kali menyebutnya sebagai ‘healing’, sebenarnya semua itu tidak perlu untuk aku.
Menyembuhkan luka batin versiku bukan berpergian, tapi bagaimana aku bisa mengendalikan diri untuk bisa berdamai dengan diri sendiri.
Kugeser panel hijau kala ponselku menyala menampilkan nama Devina. Ada apa? Tumben telepon.
Connection.
“Kenapa, Dev?” tanyaku. Grusak-grusuk terdengar dari sana, sepertinya dia sedang tidak ada di rumah, atau speaker miliknya yang rusak?
“Cepet siap-siap Ei. Habis ini aku jemput kamu. Kita pergi.”
“Pergi ke mana?”
“Udah ikut aja, nggak ada penolakan. Pokoknya, kalau aku udah sampe, kamu harus udah siap. Ya?”
“Males ih.”
“NGGAK ADA PENOLAKAN!” huh.
“Yaudah.”
Panggilan itu terputus. Padahal sudah jam sepuluh siang. Bagaimana bisa mereka mengajakku untuk berpergian. Apa tidak panas?
Dulu, saat kecil aku hitam. Mulanya, kurasa kulit ini putih, tapi begitu kenal dengan teman-teman komplekku, rasanya bermain adalah sesuatu yang menyenangkan. Makin hari, makin suka ketika kulit hitam. Dulu sih, teorinya, orang yang paling banyak tertawa adalah orang yang paling tahu apa itu bahagia. Entah dari siapa, aku ngarang dulu. Untung kulit putih itu sudah balik lagi saat aku mulai menyukai tempat ternyamanku, kamar. Kalau tidak, mungkin sudah dibully. Zaman sekarang, orang-orang akan melihat orang cantik adalah orang yang putih, bukan karena prestasi ataupun baiknya hati.
Suara klakson dari arah luar menggugah diriku untuk menarik tas slempang yang tergeletak rapi di atas nakas. Aku meletakkan tali tas ke bahu sebelah kiri dan melesat dari kamar.
“Mau ke mana kita?” tanyaku pada Devina.
“Udah, kamu naik aja.” Aku mengangguk, lalu naik ke motor gadis itu. Devina membawaku melenggang entah ke mana.
Lumayan jauh, memakan waktu tiga puluh menit untuk sampai pada tujuan. Ternyata tempat itu sebuah restaurant kecil dekat dengan sungai bening. Pemandangan yang indah. Jarang sekali aku melihatnya.
Sungai itu begitu bening sehingga bebatuan kecil yang ada di dalamnya terlihat begitu menyolok. Sangat bagus, indah, dan menawan. Pesona alam yang langkah!
“Gimana, bagus ‘kan tempatnya?” tanya Yolanda yang kuangguki.
“Ini keren banget.”
“Iya dong. Makanya, kalau diajak keluar-keluar tuh mau. Biar nggak kudet.”
Aku menghembuskan napas gusar. “Nggak semua bisa kita paksakan, Ra,” kataku sambil tersenyum ke arah Laura.
“Yuk, masuk!” ajak Devina yang sudah bergabung bersama kami berlima setelah memarkirkan motornya tadi. Kami semua serempak mengangguk dan berjalan menuju resto, tapi tidak lama. Kakiku mematung. Ada rasa perih dalam dada seolah-olah baru saja disayat belati tajam dan menyisakan banyak luka di dalam sana.
Dia yang menjadi targetku, keluar dari restaurant dengan posisi tangannya yang digandeng mesra oleh perempuan. Kuakui perempuan itu memang cantik, jika dibandingkan dengan aku.
Hari ini, apakah aku boleh untuk mengatakan jika aku terluka? Apa ini yang dirasakan Laura saat putus cinta saat itu?
Lihat. Laki-laki yang sedang berusaha perjuangkan hatinya dalam diam ternyata sudah memiliki pawang. Sekarang aku paham. Mengapa jatuh cinta terlalu sulit untuk terjadi pada wanita. Karena rasa sakit ketika kehilangan jauh lebih menyakitkan. Pada dasarnya, bagaimana pun awalnya, akhirnya adalah kehilangan.
Apa aku sudah menaruh hati pada laki-laki itu?
Mendadak semua gelap.
•••••
To be continued.
Baru kemarin coba-coba, eh udah terluka aja.
Bagaimana komentarmu tentang cerita ini setelah membaca sampai chapter 6?
I hope you still enjoy in here.
By the way. Maaf kesalahan tahun di chapter ke belakang.
All rights reserved. Tag me on instagram @syadrabakri if you want to share special part or everything about this stories.
Indonesia, 6 Januari 2021 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menolak Bersama [END]
Teen Fiction[Teenfiction - Spiritual] "Tak akan mampu aku mengeratkan genggaman itu, jika hubungan ini sudah berada pada puncak kehancurannya. Terima kasih telah ada, meski dalam jiwa masih mengharapkan ragamu, tapi maaf. Hari ini. Aku menyerah." Menolak Bersam...