And I believe that Allah is the best planner.
•••••
Merasa duniaku hari ini sangat sepi, aku memutuskan untuk membaca buku di perpustakaan. Mungkin dengan seperti ini waktu akan berakhir dengan cepat.
Sungguh, ini semua sangat menyakitkan. Aku manusia biasa, tidak luput dari lupa dan dosa. Jika ada yang tak nyaman karena aku, tell me. Biar aku bisa perbaiki.
Rasanya ingin marah. Namun, aku sadar. Mau berteriak sekencang apa pun, kalau tidak ada yang peduli, untuk apa? Percuma.
Tiba-tiba aku merasa ada seseorang yang memegangi pundakku. Yolanda. Herannya, anak itu tersenyum. Bukannya tadi ...?
“Maaf.” Dia berkata sangat lirih. Dia menunduk seakan-akan tak berani menatapku.
Aku memegang tangannya. “Ada apa?” tanyaku.
Dia mulai berani menatap. Tatapannya teduh, bahkan matanya berkaca-kaca. “Maaf di saat kamu butuh aku, aku malah menjauhi kamu tanpa alasan.” Berarti yang tadi ... mereka semua sedang menjauhi aku? Kenapa?
“Kenapa ngejauh, Yolanda? Aku salah apa? Aku buat kalian kecewa, ya? Mana kesalahan aku. Please, tell me. I deserve to know it.”
Yolanda tiba-tiba memelukku tanpa memberikan sepatah kata pun. Aku yang merasa kikuk lebih kikuk lagi saat menyadari ada Hanif di sisi rak paling kiri, laki-laki itu tersenyum dan mengacungkan jempolnya. Apa semua perlakuan Yolanda saat ini karena Hanif?
Kami melepaskan pelukan itu saat tersadar bahwa yang kami lakukan adalah hal yang cringe jika di depan umum. Yolanda menatapku, kami saling tatap kemudian terkekeh sama-sama.
“So, ada yang mau kamu katakan?” tanyaku.
“First, I wanna say sorry. Maaf banget buat kesalahan aku tadi pagi dan kemarin-kemarinnya. Terlebih Hanif, aku juga berterima kasih banget sama dia karena dia yang udah ngecerahin hati aku.”
Oh, jadi benar karena Hanif.
Yolanda menarik napad dalam-dalam, kemudian menghelanya pelan-pelan. Ia menatapku lekat. “Laura tiba-tiba ngompori kita berempat. Dari awal aku sebenernya udah tau kalau dia nggak niat serius temenan sama kamu. Dia agak terpaksa. Makanya kalau ngomong suka ceplas-ceplos.” Satu fakta yang mengejutkan.
“Waktu kamu sakit, mungkin di situ kesempatan dia buat ngakui semuanya kalau dia nggak suka sama kamu, dan bisa dibilang dia fake friends.”
“Awalnya dia berusaha buat nerima semua ini, Ei, tapi ....”
“Tapi aku suka sama Hanif.” Tidak, itu bukan suara Yolanda, tapi suara ... Laura. Anak itu berjalan mendekat ke arahku dan Yolanda. Atmosfer mendadak menegang. Aku mengedarkan pandangan, tapi tak menemukan Hanif.
“Lau ... sejak kapan kamu suka dia?” tanyaku pelan. Jika aku tahu Laura juga menyukainya, mungkin aku akan membatasi perasaan ini.
Laura berdecih, “Kamu nggak perlu tau, Ei. Nggak penting juga.”
“Ini penting, Lau. Aku sahabat kamu. Aku juga harus memahami posisi kamu sebagai seorang sahabat,” kataku.
“Sejak kapan kamu peduli sama semua ini?” tanyanya. Aku mengusap wajah kasar. Bagaimana ini? Semua sudah berantakan.
Cinta itu buta. Aku jadi kehilangan semuanya dalam sekali tarik napas. Bodohnya, ke mana saja aku selama ini? Mengapa bisa aku tidak menyadari bahwa Laura menyukai laki-laki itu?
“Lau, maafin aku,” kataku memohon. Aku tahu bagaimana perasaan Laura. Dia pasti cemburu dengan banyak hal yang aku lalui bersama Hanif. Cemburu sambil nahan buat nggak senyum itu susah. So, I’m proud of you, Laura.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menolak Bersama [END]
Teen Fiction[Teenfiction - Spiritual] "Tak akan mampu aku mengeratkan genggaman itu, jika hubungan ini sudah berada pada puncak kehancurannya. Terima kasih telah ada, meski dalam jiwa masih mengharapkan ragamu, tapi maaf. Hari ini. Aku menyerah." Menolak Bersam...