Jika kematian lebih baik dari kehidupan di dunia ini. Ambil aku, Tuhan.
•••••
Terkadang, kita terlalu memposisikan diri sebagai prioritas sampai tak sadar bahwa kita telah egois meski kita lihat arahnya positif. Karena yang baik tak akan selamanya baik, bahkan belum tentu baik. Aku takut aku bersikap langit padahal hanya tanah yang diberi nyawa.
Rasanya cukup membuat debaran ini tak ada henti dari tadi. Asmaul husnah terus aku lantunkan. Aku takut hasilnya akan membuat mentalku breakdown. Aku bukan perempuan kuat yang terlihat seperti biasanya. Aku lemah.
Bagaimana jika aku meninggal hari ini?
Bukan pesimis. Hanya mempertanyakan kepada diri sendiri saja, apa amalku selama ini sudah cukup? Penampilan berkedok hijrah, padahal kelakuan masih disampuli.
Namun, aku juga tidak ingin berharap lebih dengan kehidupan ini. Jika sudah saatnya aku pergi, aku hanya berharap dimatikan dalam keadaan di jalan Rabb-ku.
Amih membantu melepas cincin dan antingku karena sebentar lagi aku akan melakukan prosedur MRI. Setelah selesai, suster mendorong bangsalku keluar dari ruangan menuju ruang yang dibuat khusus untuk menjalankan tes ini.
Tubuhku dimasukkan ke dalam tabung panjang yang terdapat lubang di kedua ujungnya. “Jangan gerak ya, supaya hasilnya jelas,” kata dokter.
Prosedur dimulai. Aku mendengar suara yang keras sesekali. Ada suara seperti suara ketukan atau mungkin juga tepukan. Namun, dokter tetap memperbolehkan aku menutup telinga karena headset khusus belum tersedia. Proses ini tidak sakit, aku hanya merasa seperti ada kedutan sesekali.
Aku kembali ke ruang rawat inap setelah 40 menit berada di sana. Kak Ibra berjalan di samping bangsalku yang sedang didorong.
“Kakak takut banget tadi. Lebih buat senam jantung. Padahal nggak ngapa-ngapain,” keluhnya.
Aku menatapnya. “Takut kehilangan aku, ya?”
Dia mengangguk. “Kalau sampai kamu kenapa-napa, Kakak nggak tau apalagi yang mesti Kakak perjuangin selain kesehatan kamu.”
“Hubungan Ayah sama Amih, Kakak nggak merjuangin?”
Kak Ibra seketika menuduk. “Ya. Semua udah nggak ada harapan lagi. Mereka sudah resmi cerai. Ayah talak Amih. Tinggal sidangnya aja. Mereka juga udah mediasi waktu kamu koma.” Lagi-lagi karena aku koma aku tidak tahu hal besar ini, bahkan dengan polosnya aku masih berharap mereka bisa bersama. Jika bukan untuk aku, setidaknya untuk penyakit ini.
Pasrah, tapi dalam hati masih berharap bahwa hal ini akan membawa takdirku lebih cantik setelah ini. Amih menghampiriku sambil menggadeng tangan Lashif. Ketika melihatku bocah itu langsung berlari mendekat ke bangsal.
“Hai, Kak,” sapanya. Aku tersenyum. “How are you?”
“I’m good. You?”
“I’m good too.” Dia melirik selang infus, lalu menatapku nanar. “Stay healthy, ya? Jangan ilangin senyum di wajah Kakak cuma karena ini.”
Pintu ruang rawatku dibuka, suster kembali meletakkan bangsalku di posisi semula. Lashif menarik kursi plastik di dekat laci lalu mendudukinya.
“Please sehat terus. Lashif nggak mau Kakak mati. Lashif belum siap.”
“Kematian udah jadi hal pasti, Dek. Semua orang nggak mau kehilangan, tapi takdir Allah selalu penuh kejutan.”
Amih mengelus kepala Lashif, lalu memeluknya sebentar dan beralih memelukku.
Ya Allah. Pelukan dari seorang ibu yang sudah berjuang melawan kerasnya hidup untukku dan yang sudah berjuang memberikan seluruh hidupnya untuk aku, tolong jangan jadikan pelukan ini adalah pelukan terakhir dari tangannya yang mengulum di tubuhku.—————
Amih baru saja pamit mengantarkan Lashif ke sekolah. Kak Ibra di sini menemaniku, tapi aku bosan. Aku mengajak laki-laki itu ke taman. Aku butuh suasana baru. Sembuh tak harus di dalam rumah sakit.
Menjadi anak perempuan sendiri, terlebih berada di tengah-tengah dua jagoan ini, aku merasa sangat beruntung. Semua sesuai dengan ekspektasi. Tidak seburuk yang orang kira karena konon katanta hidup dengan laki-laki selalu ditekan, bahkan dikekang. Hoax. Mereka hanya berpikir tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Memecahkan teori tak cukup menggunakan otak.
Seorang anak kecil meringis setelah jatuh dari hadapanku karena Kak Ibra tak sengaja menabraknya dengan kursi roda yang kududuki. Buru-buru kakakku membantunya untuk berdiri sambil sesekali membersihkan baju birunya yang sedikit kotor.
“Nggak papa, Dek? Maaf, ya. Nggak sengaja,” kata Kak Ibra sambil mengeceki beberapa bagian tubuh anak kecil itu.
Dia menggeleng sambil tersenyum menatapku dan Kak Ibra bergantian. “Nggak papa kok Om, Tante. Aku juga larinya nggak liat-liat tadi,” katanya. Tante? Mendengar itu serasa sudah berkepala dua.
Netraku melihat dia menunduk sambil memperhatikan kursi rodaku. Ia menatapku kemudian, tapi tidak lama dia beralih menatap Kak Ibra.
“Istri om ganteng sakit, ya?”
Astaghfirullah! Seketika aku melotot. Istri? Tidak-tidak. Hal seperti ini sebenarnya sudah biasa, bahkan aku dan Kak Ibra sudah tidak kaget lagi.
“Dia ad——”
“Faris!” suara seseorang berhasil membuat perhatian anak itu teralih. Ia kemudian tersenyum sambil melambaikan tangannya.
Sejenak dia menatapku dan Kak Ibra. “Dadah. Cepat sembuh ya tante cantik.” Aku tersenyum dan mengangguk.
Kak Ibra berhenti tepat di samping kursi kayu yang sudah bercat hitam pekat di pinggir pohon beringin besar yang ada di sudut kanan taman. Dia duduk di kursi itu sambil menatapku teduh. Tatapan yang sebenarnya membuat aku merasa bersalah karena sering kali membuatnya mengeluarkan tanduk amarah, tapi aku sayang meskipun aku tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata seperti orang-orang kebanyakan.
Tiba-tiba tangannya bergerak memegang tanganku. “Kita akan terus sama-sama.” Dia berkata seakan ingin aku hidup lebih lama. Dia tidak ingin kehilangan aku. Kabulkan doa mereka ya Allah. Namun, jika kepergianku lebih baik, maka berikan lapang keikhlasan untuk mereka. Aamiin.“Apa pun yang terjadi hati Eila tetap selalu terisi nama Kakak, Amih, dan Lashif, bahkan ... Ayah.” Kak Ibra tersenyum, lalu mengelus puncak kepalaku.
“Kakak selalu berdoa semoga Allah memberikan kamu umur yang panjang sampai kamu melahirkan keponakan pertama untuk Kakak.”
Aku mencubit perutnya. “Ngaca deh, Kak. Kakak bahkan belum kasih Eila keponakan.”
“Lho, itukan rancangan masa depan, Dek. Lagian gimana Kakak mau kasih kamu keponakan, kalau hilal jodoh aja belum dateng,” katanya.
“Ya sama.”
Kami sama-sama terkekeh.
“Makanya umur kamu harus panjang biar bisa liat Kakak nikah, bahkan sampai Kakak liat kamu nikah juga, eh enggak deh. Itu terlalu sebentar. Gimana kalau kamu umur panjang sampai Kakak ditemui ajal? Dengan gitu Kakak nggak akan merasa berat kalau kehilangan kamu,” katanya.
Pembicaraan ini mulai berat. Kami membahas kematian seakan menghitung hari untuk berpisah. Ketakutan itu jadi datang, jika aku benar-benar pergi, siapa yang akan memahami posisi amih sebagai sesama perempuan?
“Kakak egois,” kataku.
“Bukan egois, tapi kalau disuruh milih, Kakak pingin Kakak mati dulu daripada kamu. Kenapa? Karena Kakak nggak bisa hidup tanpa kamu, apalagi tanpa Amih.”
“Terus Kakak pikir Eila bisa hidup tanpa Kakak?”
“You must can.” Please, I can’t if you know.
•••••
To be continued.
Adik-kakak bikin baper :)
Siapa pingin punya abang, cung!
All rights reserved. Tag me on instagram @syadrabakri if you want to share special part or everything about this stories.
Indonesia, 24 Februari 2020 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menolak Bersama [END]
Teen Fiction[Teenfiction - Spiritual] "Tak akan mampu aku mengeratkan genggaman itu, jika hubungan ini sudah berada pada puncak kehancurannya. Terima kasih telah ada, meski dalam jiwa masih mengharapkan ragamu, tapi maaf. Hari ini. Aku menyerah." Menolak Bersam...