1. Objek Awal

577 63 145
                                    

Berusaha taat agar di akhirat bisa mendapat syafa’at.

•••••

Biasanya pagi orang-orang diawali dengan jam waker yang berdering menyeru pagi. Tidak, tidak. Ini bukan saatnya. Aku sudah telat lima menit!

Rasanya ingin mengumpat saja, di rumah sudah terlambat, kini, di jalan macet pula. Benar-benar mengundang kesabaran. Namun, kali ini sepertinya sebuah keberuntungan. Gerbang sekolah belum ditutup. Itu artinya aku masih bisa masuk meskipun terlambat. Lebih baik terlambat daripada tidak datang sama sekali, ‘kan?

“Alhamdulillah, terima kasih, ya Allah——heh!!” kurasa raut wajahku mungkin berubah seketika. Dari yang penuh kesabaran kini berbalik. Ini bukan hari Sabtu yang tidak mengenakan seragan bewarna putih, ini hari Selasa! Bagaimana bisa bocah dingin itu mencipratkan genangan air dengan kakinya ke seragamku. Apes banget!

Tidak ada habis-habisnya aku mengumpati pemuda itu sambil berjalan menuju toilet membersihkan seragamku. Sudah telat, ada aja problem. Namanya juga life.

“Eila!” aku tersentak ketika kurasakan seseorang memanggilku dengan suara berat khas milik guru BK!

Aku membalikkan badan dan ... benar saja! Dia Pak Wahyu yang sedang menatapku dengan sengit. “Masih di sini aja, sana masuk ke dalam kelas. Udah dateng telat, masih aja ngedumel.”

“I–ini, Pak. Seragam saya kotor.”

“Kenapa bisa?”

“Tadi Hanif lari-lari, dia nanjakin kakinya di genangan itu. Jadinya nyiprat.” Pak Wahyu mengedarkan pandangan.

“Ayo ikut saya!”

“Ke–ke mana, Pak?”

“Ikut aja!” Pak Wahyu berjalan lebih dulu dibanding aku. Mau tak mau aku juga mengikutinya. Dalam hati, rutukanku untuk pemuda bernama Hanif itu tak kunjung usai. Kesal sekali.

Otakku baru menyadari jika Pak Wahyu berjalan menuju kelasku. Aneh. Ini aneh. Bagaimana bisa pria di depanku ini mengajakku ke dalam kelas dengan kondisi seragam lusuh.

“Kok ke kelas sa——.” Tunggu. Aku tersentak.

“Hanif, sini kamu!” Pak Wahyu memanggil Hanif. Sehingga membuatku penasaran, ada apa gerangan guru itu memanggilnya?

Pak Wahyu berjalan menghampiri Hanif. Lelaki itu menatapku sekilas, kutatap balik dengan sinis.

“Kamu tau apa kesalahan kamu?” pertanyaan itu digelengi Hanif.

“Lihat Eila!” pemuda itu mengikuti perintah dan melihat ke arahku.

“Bukan orangnya, tapi seragamnya!” sentak Pak Wahyu yang seketika membuat Hanif menatap seragamku yang lusuh. Aku tahu arah pembicaraan ini akan ke mana. Aku suka keadilan.

“Saya nggak tau, Pak,” cicitnya. Entah dia beralasan atau tidak, tapi aku kasihan.

“Nggak tau, apa?”

“Soal seragam Eila yang kotor.”

“Coba nunduk dan lihat sepatu kamu! Basah, nggak?” Hanif mengangguk. “Terus kamu masih belum tau apa kesalahan kamu?” seketika anak itu menggigit gigir bawahnya.

Menolak Bersama [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang