8. Pelindung

134 31 78
                                    

Mungkin, aku yang terlalu berharap, tapi perjuangan ini belum hirap. Biarkan aku berjuang untuk sekali lagi. Meski kutahu, hasilnya juga akan tetap nihil.

•••••

Kata artikel yang baru saja kubaca, sakit hati ternyata dapat berujung pada fisik. Buktinya, hari ini aku demam; terlalu lelah beraktivitas, banyak pikiran, terlebih hati dan otak saling bertolak belakang.

Semenjak memutuskan jatuh hati, kini aku menyesal sendiri karena terlalu sibuk mendalami peran. Hingga lupa, akhir dari segalanya itu kehilangan, lalu penyesalan.

Hari ini, setelah dua hari meliburkan diri, aku kembali memakai setelan seragam putih abu lengkap dengan atributnya. Dua hari adalah waktu yang cukup lama untuk aku yang begitu antusias bersekolah. Aku merindukan semua tentang sekolahku, tapi tidak dengan kisah cinta memuakkan yang terjadi sana.

Aku menduduki kursi meja makan kosong yang terletak di sebelah kanan kursi ayah. Setelah meneguk segelas air, pria itu mengusap mulutnya dengan tisu, lalu berdiri sambil menenteng tas kerjanya.

“Ayah buru-buru. Ayah duluan, ya?” katanya. Amih berdiri menyalami tangan suaminya diikuti dengan aku dan Lashif, adikku.

Sebenarnya, bukan sekali dua kali ayah meninggalkan meja makan dengan buru-buru, tapi aku tak mau ambil pusing meski sering merasa tidak diprioritaskan karena pekerjaan. Aku masih sadar diri, ayah kerja untuk kita semua. Masa beliau sibuk, kita malah semakin membebani?

—————

Gedung sekolah dengan nuansa hitam abu terlihat megah di pupil mataku. Aku turun dari motor ojol dan berlari kecil ke arah gerbang setelah membayar ongkosnya. Baru dua hari tidak bersekolah terasa begitu hampa. Tidak ada suara riuh yang memekakkan telinga dari anak laki-laki di kelas, bahkan aku merindukan teriakan yang memanggilku ‘cewe aneh’ di sepanjang koridor.

Dari belakang, suara khas miliknya membuatku mematung. Pagi-pagi kenapa harus ada ‘dia’ sih?

Tak ingin ambil interaksi dengannya, aku kembali berjalan memberanikan diri tidak menggubrisnya meski kutahu dia selain terkenal dingin, juga terkenal galak tak kenal tempat.

Kurasa, semakin aku menjauh, suara itu justru semakin mendekat hingga teriakan lelah dari laki-laki itu membuatku diam dan menghadap ke arah belakang.

“Dipanggil tuh nyaut. Dicari Bu Wiwin tuh!” ketusnya. Eila, Eila. Jadi balik lagi kan buat ke ruang guru. Sudah berjalan sejauh ini, putar balik lagi. Nyeselkan nggak ngegubris dari tadi.

“Kalau nggak ikhlas manggil, nggak usah manggil,” kataku saat melewati sampingnya.

Aku berlari kecil setelah mengatakannya. “Ada yang peduli, tapi masih gengsi,” teriakku yang hilang kendali. Jangan bilang aku lupa dengan tragedi saat itu, tidak, aku tidak pernah lupa.

—————

Ragaku sudah menapaki kelas. Netra ini mengedar mencari teman-temanku. Tadinya, aku tidak mengatakan bahwa aku akan masuk, alasannya biar surprise, tapi takdir Allah berlainan.

Dua temanku hari ini izin tidak masuk sekolah, sedangkan sisanya berkontribusi menjadi panitia yang saat ini sedang mengurus lomba mewakilkan sekolah di kabupaten. Nasib.

Kududukkan tubuh ini di kursi yang biasa kutempati. Rasanya ada yang berbeda setelah dua hari tidak mendudukinya. Ada rasa rindu yang menggebu.

Tak lama, Pak Syam berjalan memasuki kelasku dengan tumpukan kertas-kertas yang mulai ia taruh di meja guru. Tiba-tiba serayu yang menusuk kalbu membuat kelopak mata ini mendadak ingin memajam meskipun sebentar saja. Semalam, aku kesulitan tidur. Biasa terjadi kalau memang sedang tidak sabar menunggu hari esok.

Hujan mendadak mengguyur, tapi aku malah menikmatinya dan enggan beranjak, tunggu. Hujan? Apa atap di kelas ini bocor?

Punggungku menegak seketika. Bersusah payah aku menelan ludah begitu netra menangkap sosok Pak Syam yang sudah siap dengan penggaris kayunya. Habis Eila!

Penggaris pria yang berstatus guruku itu mulai terangkat, kuyakini pasti hendak memukulku. Pak Syam memang another level of killer teacher. Mati. Mati. Mati.

Aku menggigit bibir bawah dengan kepala yang menunduk, bersiap merasakan sensasi panas yang akan digebukkan pada salah satu bagian tubuhku. Mungkin satu, tapi jika banyak? Habis aku.

Ku pejamkan mataku. Belum dipukul saja sudah merasakan nyeri di mana-mana. Aneh! Kedua kelopak mataku terbuka ketika Hanif menyerukan suaranya. "Jangan Pak, agama kita melarang untuk menyakiti wanita." Damage-nya!!!!!!!!!!!

Kontan, teman-teman sekelasku meriuh heboh, bahkan aktivitas Pak Syam tertahan. Tangan itu mulai menurunkan penggaris. Hatiku sedikit jauh lebih lega, tapi ... yang kudengar tadi tidak salah, ‘kan?

Aldrik, salah satu sahabat Hanif menepuk bahunya. “Nif. Jiwa kamu ketuker di mana?” sedangkan laki-laki yang mendapat pertanyaan malah membuang muka malas.

Dia berdiri dan merogoh tasnya. “Bukan belain. Ini cuma keadilan buat perempuan. Lagian dia udah dapetin hukumannya. Masa mau dipukul pakai penggaris?” takjub, aku takjub!!

Setelah kejadian dua kali dia menghapus pesan itu. Pikiran semakin ke mana-mana. Tidak mudah mempercayai apa yang dikatakan Hanif. Pasti ada maksud tersendiri dari itu.

Tangan laki-laki itu mengulur dengan sehelai kain. “Nih, buat ganti kerudung kamu yang basah.” Hah? Ngelag ya Allah. “Ini emang bukan kerudung, ini taplak meja OSIS, tapi aman kok, nggak ada logonya. Kamu cewe, gampang buat model taplak jadi hijab kayak pashmina.”

Ragu-ragu aku menggeleng. “Nggak usah. Makasih.”

Hanif nampak enggan berdebat. Ia meletakkan kain itu di mejaku. “Pakai. Sebelum di akhirat kamu nyesel.” Mengerti dengan maksud laki-laki itu, aku mengambil kainnya dan meletakkan langsung di kepala.

Aku berdiri. “Izin ke toilet, Pak.” Pak Syam memberiku jalan, tapi tidak mengeluarkan kata. Dia pasti mati kaku. Salah siapa galak.

Setelah adegan siraman dadakan tadi, baru melangkah keluar kelas, riuh suara anak didik membuatku harus menutup telinga rapat-rapat. “Si dingin Hanif jatuh hati sama si polos Eila.” Apa-apaan ini, kenapa jadi seperti ini? Tolong ....

Mungkin, sebagian ada yang mendukung, lebih parah lagi, sebagian ada yang mengira aku perempuan penggoda sehingga membuat keimanan Hanif goyah. Dasar suuzan. Mana ada penggoda. Laki-laki beku kayak dia itu buaya.

Aku memberhentikan langkah kala suara khas milik pemuda itu masuk halus ke telingaku. “Jangan berpikir terlalu tinggi dengan tindakan yang aku lakukan tadi.” Jatuh lagi. Mungkin, aku yang terlalu berharap, tapi perjuangan ini belum hirap. Biarkan aku berjuang untuk sekali lagi. Meski kutahu, hasilnya juga tetap akan nihil.

•••••

To be continued.

Hanif plin-plan.

I have no word, but, I wanna say thanks for those everyone to read this stories. Thank you for you've stayed.

All rights reserved. Tag me on instagram @syadrabakri if you want to share special part or everything about this stories.

Indonesia, 10 Januari 2021 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

Menolak Bersama [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang