Terkadang, hanya karena satu kesalahan. Kita dapat melupakan banyaknya kebaikan.
•••••
Rumah yang menjadi tempat ternyamanku kini sudah dapat dilihat oleh mata. Entah sekarang rasanya masih sama atau justru menjadi suram karena salah satu di antaranya telah berhasil membelah kepercayaan.
Setelah turun dari motor, aku menggeser gerbangnya, lalu kembali menghadang Hanif sambil tersenyum—sedikit gugup. “Terima kasih,” kataku. Pemuda itu langsung melenggang pergi setelah menutup kaca helmnya dan mengangguk.
Aku masuk ke dalam rumah melalui pintu garasi yang sengaja tidak ditutup kecuali orang rumah sudah masuk. Pintu utama rumah kami seakan tak penting kecuali ada tamu. Keluarga kami memang terbiasa masuk dan keluar rumah melalui garasi karena memang kami tidak akan keluar jika tidak langsung mengenakan motor.
Kuputar kenop pintu yang menjadi pembatas antara garasi dan ruang keluarga, tiba-tiba amarahku memuncak saat kembali mengingat apa yang dilakukan pria yang kujunjung tinggi selama ini. Kakiku lemas. Kini jiwa penuh ketakutan, takut ayah sudah lebih dulu pulang dibanding aku. Apa setelah kejadian ini aku boleh membencinya? Aku jijik. Dia pengkhianat.
Hati kecil ini menolak untuk membenci dengan alih-alih bukti belum jelas. Tiba-tiba amih ada di hadapanku. Ya Allah. Wanita yang tersakiti secara tak langsung ada di hadapanku sekarang. Apa yang harus aku lakukan?
Beliau memegang bahuku, “Eila nggak papa?” tanyanya. Aku bergeming. Dadaku terasa begitu nyeri. Aku tidak tahu apa yang terjadi.
Kupegangi tangan amih. “Bisa tolong bantu Eila jalan, Mih?” amih mengangguk meskipun awalnya bingung.
Wanita yang kutatap lirih itu membantuku duduk di tepi ranjang. Kemudian membantu melepaskan tas punggung yang masih setia bertenteng di bahu. Tiba-tiba saja Amih menepuk jidatnya. “Ya Allah.” Ia melirih.
“Amih lupa. Hal kayak gini jadi kebiasaan kamu kalau lagi inget sesuatu yang buruk, ‘kan? Kamu kenapa?” skakmat.
Tidak. Jangan ditunjukkan sekarang Eila. Kamu harus berpikir dua kali! Ayo, Eila! Kamu bisa pendam ini sendirian.
Aku menggeleng. “Eila nggak papa. Tadi di sekolah banyak tugas. Makanya gini. Maaf juga udah pulang telat.”
Tiba-tiba tatapan amih begitu menelisik. Aku tidak berani menatapnya. Bukankah dari mata kita bisa melihat kebongongan? Terlebih seorang ibu yang melihat.
“Serius nggak papa?” Aku menggeleng. “Kok bisa sekolah pulang jam segini? Itu sekolah apa dolan?”
Aku terkekeh. “Biasa, Mih. Tadi Eila pingsan——.” Amih memutus.
“Astaghfirullah! Kamu kenapa lagi? Udah dibilang jangan sekolah dulu, ngeyel lagi! Kalau pingsan gini siapa yang repot, hah?”
“Eila nggak papa. Tadi cuma kecapean——.”
“Makanya jangan sekolah!”
“K–kan biar pinter.”
“I–iya juga, ya.”
“Kamu mau periksa ke dokter? Kamu udah sering pingsan loh Ei. Takut ada apa-apa.” Tidak. Aku menggeleng keras. Melangkahkan kaki di rumah sakit saja seakan ingin masuk ke dalam rumah angker. No. Ini menakutkan.
“Kalau dalam minggu ini kamu pingsan lagi. Mau nggak mau Amih bawa kamu periksa ke dokter.”
Aku menjabat tangan amih. “DEAL!”
“Oh iya. Kamu pingsan di mana?” tanya amih.
“Di halte, terus dibawa sama temen ke rumahnya. Udah sore, mungkin sekolah juga udah tutup.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Menolak Bersama [END]
Teen Fiction[Teenfiction - Spiritual] "Tak akan mampu aku mengeratkan genggaman itu, jika hubungan ini sudah berada pada puncak kehancurannya. Terima kasih telah ada, meski dalam jiwa masih mengharapkan ragamu, tapi maaf. Hari ini. Aku menyerah." Menolak Bersam...