Bab 15 - Menguak

131 27 28
                                    

Dunia tidak hanya berotasi untuk keluarga ini, masih ada kisah yang jauh lebih perit. The life of the world is not as in the human mind.

•••••

Selang air bewarna hijau sedang Lashif siapkan untuk menyirami tanaman, sedangkan amih sibuk memasak untuk menu makan siang hari ini. Mendadak bel rumah berbunyi, karena Lashif yang paling dekat dengan pintu maka ia yang membukakan.

Di hadapannya kini sudah ada seorang wanita dengan tubuhnya yang begitu ramping, bahkan jika dibandingkan tubuh wanita itu lebih apik dibanding milik amih. Parasnya cantik, apalagi sepatu hak hitam yang membuatnya semakin tinggi dan elegan. Sayangnya, Allah belum memberi taufiq dan hidayah-Nya.

Lashif mengira itu adalah teman amih, anak itu pamit untuk memanggil amih. Keduanya kemudian datang beriringan menghampiri wanita tadi. Dahi amih mengerut. Wajahnya tidak familiar.

“Cari siapa, ya?” tanya amih bingung. Wanita itu tersenyum sambil menatap amih dengan tatapan yang bahkan amih sendiri tidak bisa mengartikannya.

“Dengan Ibu Askadira?” tanyanya yang diangguki amih. Wanita itu kemudian mengulurkan tangannya, ragu-ragu amih membalas uluran itu. “Perkenalkan saya Venisa selingkuhan dari, maksud saya istri kedua dari Bapak Ahmad Akbar suami Anda.”

Lashif yang mendengar itu seketika membulatkan matanya. Tidak mungkin.

Meski agak ragu, amih menghela napas, ia melepaskan uluran itu dan membuang muka. “Maaf. Saya tidak punya waktu untuk mengurusi wanita tidak tahu diri seperti Anda.”

“Anda yakin tidak percaya dengan saya?” Venisa sedikit memancing, parahnya amih kepancing.

Amih menghela napas sekali lagi, lalu melipat kedua tangannya di bawah dada. “Kalau saya tidak percaya, memangnya kenapa? Ada masalah?”

Venisa dengan tiba-tiba menjulurkan ponselnya yang kini layarnya sedang menampilkan salah satu foto—foto pernikahannya dengan ayah. Amih terkejut, tapi sebisa mungkin ia tenang.

“Zaman sekarang banyak rekayasanya, Mba.”

“Anda yakin ini rekayasa?” tanya Venisa.

“Mau saya bilang iya atau tidak, bukan urusan Anda.”

Wanita itu tertawa sumbang. Lalu menatap amih dengan tatapan yang kurasa menyebalkan. “Anda terlalu percaya diri, Askadira. Sampai-sampai, suaminya selingkuh pun tidak percaya.”

Suasana semakin dibuat panas oleh Venisa. Emosi amih sudah tidak bisa ditahan lagi. “Kita sama-sama perempuan. Kalau ini memang benar, kenapa Anda setega itu dengan saya?”

“Cinta nggak bisa ditahan——.”

“TAPI TIDAK UNTUK MENCINTAI LAKI-LAKI YANG SUDAH BERISTRI!!!” sentak amih. Ia sudah tidak tahan dengan semua ini. Mendengar bentakan itu membuat tangan Venisa terangkat dan hendak menamparnya, tapi Lashif lebih dulu mencegah.

“TANGAN KOTOR ITU TIDAK PANTAS UNTUK MENYENTUH KULIT SUCI MILIK IBU SAYA!”

Tangan Venisa turun. “Oh jadi begini cara Anda mendidik putra sendiri. Tidak beretika dengan orang yang lebih tua.”

Lashif tertawa. “Tidak beretika? Anda pikir dengan lancang datang ke sini, Anda menyebut diri Anda beretika?”

Venisa geram. Ia mengepalkan tangannya.

“Ciye emosi. Kepancing, ya? Kasian banget sih stok mentalnya dikit.” Emosi Venisa memuncak.

“By the way, saya cuma mau bilang. Nyali itu tidak diukur dengan usia. Rasanya tidak ada gunanya saya harus harus menakuti wanita licik seperti Anda. Menang cantik doang, tapi nggak mahal, buktinya mau aja dinikahin sama bapak anak tiga.”

Karena geram, Venisa menghentakkan salah satu kakinya lalu pergi meninggalkan amih dan Lashif begitu saja.

“CIYE YANG BARU AJA KENAK MENTAL!” teriak Lashif sengaja meledek.

“Hus. Udah, Shif.”

“Amih boleh baik, tapi jangan buta. Maaf omongan Lashif kasar, tapi wanita kayak dia nggak pantes buat diajak ngomong baik-baik.”

Mulai detik itu Lashif tak lagi ingin bertemu dengan Venisa. Dia jahat menurutnya. Menurutku juga. Ternyata apa yang kita lihat baik, belum tentu baik.

————

Keraguan dalam hati untuk mencintai salah satu hamba Allah akhirnya muncul. Sungguh hati ini menjadi takut akan semua luka yang terjadi saat memilih untuk jatuh hati. Bukankah konsekuensi dari mencintai adalah siap menanggung luka? Masalahnya aku tidak siap. Harus apa aku?

Panutanku saja bisa berselingkuh, hal itu juga tidak menutup kemungkinan bahwa laki-laki yang kucinta tidak berselingkuh, ‘kan?

Ada baiknya aku ceritakan ini semua ke Kak Ibra, anak sulung di keluarga ini. Dua bulan sudah berlalu, dengar-dengar Kak Ibra juga tidak bisa memegang ponsel. Harus apa aku?

“Rumit banget ya Allah.” Aku mengusap wajahku dengan kasar, lalu beranjak dari kasur dan melakukan ritual malamku seperti biasa.

Terkadang, ada sesuatu yang tidak bisa aku ungkapkan dengan mulut meskipun terasa begitu mengganjal, bahkan menuangkannya ke dalam tulisan pun masih terasa aneh. Rasanya ingin mengeluh, tapi sadar, dikasih bahagia saja aku masih bisa lupa untuk bersyukur.

Kini, aku tidak tahu harus apa. Satu-satunya yang ada di pikiranku hanyalah bagaimana caranya keluarga ini masih bisa utuh meskipun sudah dinodai.

“Kak. Kok belum tidur?” tiba-tiba Lashif masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk pintu. Kebetulan pintu belum aku kunci. Apa aku harus bekerja sama dengan Lashif? Tapi kasihan dia, mental anak-anak masih lemah. Jangan sampai dia didewasakan oleh keadaan.

“Ini lagi beres-beres dulu, kenapa emang?” kataku lalu kembali membereskan sampah-sampah skincare yang ada di atas nakas.

“Adek mau tidur di sini, boleh?”

“Lho? Tumben?”

“Lashif mau cerita,” katanya sambil mengunci pintu kamarku.

“Cerita apa?”

“Ayah.” Pria itu lagi.

“Jujur Lashif nggak mau kehilangan Ayah.” Lashif membaringkan tubuhnya di kasurku, “tapi kenapa Ayah jahat banget, ya, Kak?”

“Belum saatnya kamu mikirin ini, Dek.” Aku berjalan mendekati Lashif.

“Kadang kehidupan itu nggak seindah apa yang ada di pikiran kita, tapi kita bisa belajar dari itu, apa pun yang akan terjadi manusia hanya bisa berencana, selebihnya Allah yang menentukan.”

“Dunia berotasi bukan hanya untuk keluarga kita, masih banyak kisah yang jauh lebih menyakitkan dari ini,” imbuhku ikut berbaring di sampingnya.

“Berarti harus bersyukur ya, Kak?” aku mengangguk.

“Terus gimana caranya untuk mendamaikan Ayah sama Amih?” tanya Lashif menatap ke arahku. Itu yang aku tidak tahu.

•••••

To be continued.

Semoga bisa mengambil pesan moralnya.

All rights reserved. Tag me on instagram @syadrabakri if you want to share special part or everything about this stories.

Indonesia, 23 Januari 2021 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

Menolak Bersama [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang