Bab 26 - Satu Garis

107 17 27
                                    

Untuk menyerah, manusia hanya memiliki sedikit alasan, tapi untuk mensyukuri nikmat yang Tuhan beri, manusia memiliki semua hal yang ia peroleh. Karena semua adalah karunia.

•••••

Mentalku memang lemah. Tidak sekuat orang-orang yang berhasil menerobos masalahnya dalam waktu yang cepat. Namun, ini tidak seberapa. Mungkin esok akan lebih perih, bahkan bisa saja dipatahkan hari ini juga oleh ekspektasi.

Aku memang munafik. Bohong jika aku tidak sedih, tapi kalau dipikir-pikir, anak mana sih yang mau orang tuanya cerai? Terlebih berpisah bukan dengan cara yang baik.

Terkadang aku berpikir. Untuk apa manusia dilahirkan bila diberi ujian terus-terusan? Cih, aku memang stupid. Ke mana ilmu yang kamu pelajari selama ini, Eila? Mengapa saat mental breakdown kamu malah melupakan semuanya.

Jangankan kalian, aku saja membenci diriku sendiri saat sedang marah. Karena emosi aku kehilangan semuanya. Sekarang aku sadar, mengapa orang-orang tidak mau mengalah, itu hanya karena amarah. Ya Allah, selalu tuntun hamba untuk taat.

Amih merengkuh tubuhku. Mengusap pelan air mata yang sedari tadi menetes tanpa suara.

"Jangan pikirin yang tadi. Kondisi kamu belum serius, Ei," katanya lembut. Aku tidak suka diperlakukan seperti orang sakit. Ayolah Eila, kamu jangan nyusahin.

Taksi berhenti tepat di depan rumah yang kutahu ini bukan rumahku, tapi rumah siapa?

"Ayo turun, sudah sampai," kata amih. Lho, t-tapi?

"Nanti Amih jelasin," imbuhnya seolah mengerti apa maksudku. Aku mengangguk, lalu menurutinya untuk turun.

Netraku menangkap Kak Ibra sedang menggeret dua koper ke dalam rumah itu. Sebelum benar-benar masuk ke dalam, ia sempat menoleh ke arah kami dan tersenyum. Sangat tipis. Kerasukan apa dia?

Amih mengajakku dan Lashif untuk duduk di teras rumah itu. Kami menurutinya. Amih duduk dan menyelonjorkan kaki. Beliau pasti lelah.

"Hei, ngapain?" katanya begitu aku memijit kakinya.

"Amih nggak papa. Amih nggak lelah." Apanya yang nggak lelah? Pasti amih lelah. Ini bohong.

"Amih is lying," kataku singkat lalu menunduk. Semua yang terjadi sangat berat untuk aku lalui, tapi aku masih percaya bahwa Tuhan Maha Baik.

"I'm not lying. Amih emang nggak capek, Ei. Harusnya kamu yang istirahat," katanya sambil mengelus punggung tanganku.

"Ini rumah Amih jauh sebelum mengenal Ayah kamu." Perkataan barusan berhasil membuat aku mendongakkan kepala. Sejenak aku mengedarkan pandangan, sederhana. Kenapa aku baru tahu?

"Rumah kita yang dulu sepenuhnya milik Ayah sekarang. Saat palu perpisahan itu diketuk, semuanya hilang dari kita. Kecuali kamu, kakakmu, dan adikmu." Amih tersenyum menatap aku saat ia menjeda kalimatnya. "Kalian bertiga adalah harta yang paling berharga yang saat ini Amih punya. Manusia memang hanya bisa berencana, Ei. Sisanya biar Allah yang menentukan. God know what the best for us."

Padahal rumah itu hasil dari kolaborasi ayah dan amih, tapi kenapa beliau tidak dapat apa pun dari semua ini? Semakin ke sini aku semakin merasa bahwa aku ini beban yang bisanya hanya menyusahkan keluarga sendiri.

"Eila. Kamu bukan beban," kata Kak Ibra yang baru saja datang bergabung bersama kami. Perkataannya seakan berhasil memahami apa yang ada dalam pikiranku.

Mengapa aku tidak mati saja? Di balik kata 'bukan beban' pasti dalam hati mereka, mereka sedang lelah dan ingin beristirahat. Bukan malah terus-terusan merawat aku yang tidak berguna ini.

Menolak Bersama [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang