Sejauh apa pun manusia melangkah, akhir dari pertemuan hanya berlandaskan perpisahan.
•••••
Waktu begitu cepat berlalu, sebulan lagi pergi ke sekolah seakan tak lagi dijadikan butuh, bahkan hari ini satu tingkat kami sudah melakukan banyak uji tes untuk masuk ke universitas impian. Kata orang, di titik ini merupakan keinginan untuk segera menjadi alumni sekolah, tapi di titik yang akan datang, kebanyakan kita ingin memutar waktu karena mengeluh.
Namun, saat ini aku merasa ada yang aneh dalam diri. Seakan tak ingin berpisah dari sekolah ini karena ada sesuatu yang menjanggal dalam hati. Kedatangan yang tak terduga, tapi perpisahan merupakan hal yang pasti. Sampai jumpa di titik terbaik menurut takdir, teman. Terutama kamu yang beberapa hari lalu sering bermuara dalam pikiran.
Rasanya berat untuk mengambil langkah pisah kepada orang yang akhir-akhir ini membuat aku nyaman dan membuat jantung ini merasakan dentuman yang lebih cepat dari biasanya. Jika disuruh berpisah, aku akan menurut meskipun berat. Karena sebagai manusia, aku tidak bisa memaksa yang datang untuk bertahan. Sejauh apa pun melangkah, akhir dari pertemuan hanya berlandaskan perpisahan.
Hari ini hari Minggu, setidaknya aku masih memiliki waktu libur di sela-sela waktu belajar yang sangat padat.
“Dek. Tolong ambilin piring buat buah dong.” Aku sedikit meninggikan nada bicara agar laki-laki yang duduk santai di depan televisi mendengar. Dia menoleh ke arahku, lalu mengacungkan satu jempolnya dan bergerak menuju rak piring, sementara aku masih sibuk memotong buahnya.
“Nih, Kak.” Lashif meletakkan piringnya di meja.
“Sekalian foodgradenya dimasukkin ke botol dong, biar nggak mubazir.”
“Ya.”
“Nanti sore jogging, yuk?” kataku sambil meletakkan buah-buahan ke meja makan.
“Sibuk,” balasnya yang membuat aku memutar bola mata malas.
“Olahraga tuh penting. Biar sehat dan bisa melawan musuh dalam selimut nanti.”
“Maksudnya?”
“Nggak ada. Pokoknya nanti kita jogging ya? Agak maksa.”
“Yo.”
——————
Jogging singkat tadi cukup melelahkan buat kami. Aku dan Lashif sama-sama menselonjorkan kaki di tepi jalan komplek. Namanya perumahan pasti sepi.
Kami asyik bercerita banyak hal, sampai ada satu orang yang sedari tadi menarik perhatianku. Seperti pernah lihat. Agaknya Tante Ven. Wanita baik yang pernah menolongku saat pingsan di restorannya. Kok ada di sini? Apa rumahnya di sekitar sini?
Kurasa Tante Ven juga menyadari jika aku ada di sini. Beliau tersenyum, kemudian berjalan mendekatiku dan Lashif.
“Eila, kamu di sini?” tanyanya. Aku berdiri dan menyalimi tangan beliau. Sekilas aku menatap Lashif, ia acuh dengan kehadiran Tante Ven, seperti membuang muka tak suka. Anak itu memang sering cuek dengan orang baru. Cold boy sejak dini memang. Sebelas dua belas dengan Hanif, menurutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menolak Bersama [END]
Teen Fiction[Teenfiction - Spiritual] "Tak akan mampu aku mengeratkan genggaman itu, jika hubungan ini sudah berada pada puncak kehancurannya. Terima kasih telah ada, meski dalam jiwa masih mengharapkan ragamu, tapi maaf. Hari ini. Aku menyerah." Menolak Bersam...