Mencintainya bukan dosa, tapi sering memikirkannya termasuk zina.
•••••
Akhir-akhir ini dia tidak datang mengunjungi aku, bahkan sekadar bertanya kabar melalui virtual mess juga tidak. Entah ini bisa dibilang rindu atau tidak. Mata ini sudah kuusahakan untuk memejam lalu terlelap, tapi sayang hasilnya nihil. Tetap seperti itu dari satu jam yang lalu.
Orang-orang di sekitarku tidak tahu jika aku masih membuka mata padahal harus beristirahat dengan baik. Pikiranku terus berjalan berantakan. Opini-opini ganas mulai berdatangan. Apa ia bosan mengunjungi aku? Padahal hari ini aku ingin melihat wajah teduhnya itu. Aku ingin menguatkan dia. Aku ingin berterima kasih.
Tiba-tiba pintu terbuka. Aku hendak memejamkan mata, tapi urung karena melihat siapa yang datang. Tante Maya.
“Assalamualaikum. Apa kabar, Eila?” tanyanya sambil berjalan menghampiriku dan menaruh kantung plastik putih di atas nakas.
“Wa’alaikumussalam. Alhamdulillah mulai membaik, Tante,” jawabku.
“Maaf ya Tante baru ke sini lagi. Dua hari ini Tante sibuk banget,” katanya, tapi aku tak terlalu fokus mendengarkan. Aku berharap ada satu orang lagi masuk ke sini setelah mamanya.
“Hanif nggak ada, Ei.” Netraku seketika memusat ke arah Tante Maya. Gini banget kegep depan ibunya. “Dia lagi ada urusan, tapi dia titip sesuatu sama kamu.”
“Titip apa?”
“Dia titip omongan. Dia mau kamu cepat sembuh. Semua orang di sekolah menunggu kehadiran kamu lagi.”
Aku tersenyum. “Eila sudah sembuh kok, Tante. Tinggal nunggu arahan dari dokter aja kapan pulangnya.” Tante Maya tersenyum.
“Hanif rindu kamu loh, Ei.” Seketika aku terbatuk. Benarkah dia rindu? Apa ini cuma lelucon dari mamanya saja?
“Tante bercanda, ah,” kataku.
“No. This is not jokes.” Berarti dia merindukan aku? Argh!
Tiba-tiba pintu kembali terbuka. Kukira amih, ternyata ....
“Ma, dompetnya ketinggalan,” kata seseorang. Tante Maya seketika menghampirinya. Laki-laki itu mengulangi kata yang sama sambil menyerahkan sebuah dompet.
“Hanif kamu kok di sini? Kamu harus istirahat, Nak,” kata Tante Maya dengan suara pelan nyaris tak bisa aku dengar. Istirahat? Apa anak itu sedang sakit? Sakit apa?
Hanif melirik ke arahku, pandangan kami terkunci beberapa detik, lalu sama-sama menunduk istighfar. Mencintainya bukan dosa, tapi sering memikirkannya termasuk zina.
Pintu terbuka lagi, Kak Ibra masuk bersama dengan amih dan juga Lashif. Mereka berdua terkejut melihat siapa yang sudah ada di sini. Amih menghampiri Tante Maya, keduanya saling bersalaman, begitupun dengan Kak Ibra dan Hanif.
“Apa kabar, Nip?”
Hanif menyibakkan rambutnya ke belakang. “Alhamdulillah baik, Abang?”
“Baik juga. Alhamdulillah.”
Tiba-tiba amih mendekat ke arah Hanif. “Hanif, Tante mau nanya. Boleh?” Hanif mengangguk. “Bentar lagi mau ujian nasional, tapi kondisi Eila sangat tidak memungkinkan untuk ke sekolah. Tante mau nanya ini ke pihak sekolah, tapi belum sempat.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Menolak Bersama [END]
Teen Fiction[Teenfiction - Spiritual] "Tak akan mampu aku mengeratkan genggaman itu, jika hubungan ini sudah berada pada puncak kehancurannya. Terima kasih telah ada, meski dalam jiwa masih mengharapkan ragamu, tapi maaf. Hari ini. Aku menyerah." Menolak Bersam...