9. Keterkejutan

122 30 58
                                    

Another level of broken heart is when my dad kills my heart.

•••••

Kembali aku mendudukkan tubuh di kursi panjang halte tempat yang sama di mana terjadi konflik kecil dengan Hanif. Menginjakkan kaki di sini, bukan berarti ingin mengulangi hal yang sama. Sambil menunggu bus, aku fokus memperhatikan layar ponselku yang saat ini tampak jauh lebih menarik.

Aku tengah melihat tutorial memasak yang menurutku layak untuk aku pelajari. Hobiku memang memasak, dan memakan hasil masakanku. Enak tidak enak, itulah jeri payahku. Aku mensyukurinya, dan terus mempelajari dan memperbaiki hasil masakanku.

Kata Amih, perempuan itu harus bisa masak. Mau setinggi apa pendidikannya, pasti juga suatu saat akan menginjak dapur. Masak untuk keluarga, terutama suami dan anak. Dulu aku sempat berpikir, jadi laki-laki enak juga. Kerjaannya cuma diem-diem bae. Namun, setelah melihat Ayah yang bekerja keras bating tulang demi menafkahi kami, aku jadi membuang jauh-jauh pikiran seperti itu. Dasar Eila, kerjaannya kurang bersyukur!

Selain karena nantinya akan menginjak dapur. Salah satu alasan aku menyukai masak adalah selain sehat, kita juga bisa hemat. Istilah sehat, tapi tidak mahal memang ada. Ini buktinya.

“Serius banget liatnya.” Aku hanya berdehem sambil netra yang terus fokus pada benda pipih itu. Aku mengangguk paham kala tutorial yang kulihat ternyata mudah, dan tak serumit yang aku bayangkan. Kuhela napas gusar———

“Astaghfirullah!!” seketika aku menggeser posisi duduk dan menarik tasku untuk ikut. “Ngapain di sini?” tanyaku dengan jantung yang berdegup tak normal.

“Ini ‘kan tempat umum.” Semua orang juga tahu kalau ini tempat umum.

Aku rasa bangkit dari duduk jauh lebih baik daripada harus satu bangku dengannya. Malas sekali. Aku melangkahkan kaki ke depan. Menyandarkan kepalaku pada tiang yang tegak. Ini jauh lebih nyaman.

“Kasian jomblo.”

Aku membalikkan badan. Menatapnya dengan mata yang memicing. “Mentang-mentang punya pacar, bisanya ngeledek. Aku jomblo bukan karena nggak laku, tapi untuk nabung dosa sama sekali nggak memiliki waktu,” sarkasku.

Dia bergeming. Malas meladeni manusia sejenis jailangkung yang datang tak diundang, dan pulang tak diantar, aku kembali menyibukkan diri dengan apa pun. Asalkan tak terlihat gabut.

Kepala yang semula menyandar pada tiang halte, kini kembali lurus setelah rintik-rintik air itu perlahan jatuh dan membuat setengah seragamku hampir basah. Dalam saat-saat yang seperti ini, pikiranku mulai bernostalgia dengan adegan jalur hijau kemarin.

Memalukan! Jangan salah tingkah, Eila. Di sini ada orangnya.

“Jadi nostalgia.” Aku mendengar dia bergumam. Seketika aku berbalik badan, menatapnya sebentar yang ia juga menatapku, kemudian balik dan sedikit memundurkan posisi karena rintik air itu mulai membesar, bahkan jatuh dengan kasar.

Nostalgia apa? Apa ... sama dengan yang ada di pikiranku?

“Apa yang ada di pikiran kamu benar.” Si Hanif kayak cenayang saja.

“Ei. Aku minta maaf, ya?” kontan aku menatap laki-laki itu sambil memicingkan mata.

“Minta maaf untuk?”

“Yang namanya minta maaf tuh berarti ada salah!” jelasnya ketus. Iya tau, tapi dalam rangka apa Amiludin Hanif Akbar?

Kami sama-sama bergeming. Merasa tak ada yang perlu aku lakukan selain menunggu bus, aku memutuskan untuk meninggalkan Hanif di sini. Biar aku kembali menata semuanya dengan baik. Tak ingin aku berharap lebih. Tolong beri waktu agar luka ini mengering.

“Ei, tunggu.” Aku memberhentikan langkah kala Hanif berteriak dan berjalan mendekat ke arahku. “Yang kamu lihat waktu itu, semua itu cuma salah paham.”

“Dia bukan pacar aku, tapi dia adik aku.”

“Maksud?” tanyaku pura-pura tidak mengerti, meskipun kutahu pembicaraannya akan mengarah ke mana.

“Dari cara kamu bicara tentang jomblo-jomblo tadi, itu semua udah buat aku curiga kalau kamu salah paham.” Aku bergeming. Sebegitu detail dia memperhatikan aku? Eh.

Tiba-tiba fokusku teralih dengan sosok di seberang sana. Dia ayahku bersama perempuan, tapi dia bukan amih. Tidak, pasti salah lihat.

Lututku lemas kala ayah menggenggam mesra tangan wanita itu. Artinya, ayah berpaling dari amih? Really?

“Han. Kamu tau ayahku, ‘kan?” Hanif berdehem. “Dia ....” Ya Allah, aku tidak kuat dengan semua ini. Apa ini? Lelucon apa semua ini? Selingkuh? Tidak mungkin. Ayah yang kukenal tak sebejat itu.

“Apa pria itu ayahku, Han?” tanyaku lirih pada Hanif.

“Ei ....” Hanif seakan meyakini bahwa pria di seberang sana adalah ayahku. Berarti mataku tidak salah lihat. Ada rasa sesak dalam dada. Aku membekap mulutku sendiri melihat kemaksiatan itu. Apa laki-laki selalu seperti ini jika menemukan wanita yang jauh lebih cantik dibanding wanitanya sendiri?

“AYAH!!” aku berteriak, tapi ayah tak medengar teriakan itu. Tak kuasa, aku terduduk lemas di paving halte. Aku meremas rokku kuat. Bagaimana perasaan amih, jika mengetahui suami yang dia banggakan selama ini selingkuh?

Hanif berjongkok di sampingku. “Nanti kalau di rumah, tanya sama ayah kamu, ya. Jangan gegabah.”

“Dia selingkuh.” Aku melirih bersama dengan suara gludug dari langit. Air yang semula merintik, kini seakan menyiramku. Ini waktu yang tepat untuk menangis. Tiba-tiba semua gelap.

Pertama kali, netra ini menangkap seorang perempuan seusia amih, kami seperti pernah bertemu, tapi dia siapa? Wajahnya tak asing, tapi postur tubuhnya tidak mirip dengan wanita yang kulihat tadi——tunggu! Bagaimana dengan ayah?

Aku terjingkat seketika. Wanita itu panik dan langsung memegangi pundakku, tapi aku menepisnya dengan pelan.

“Saya mamanya Hanif.” Hah?

•••••

To be continued.

All rights reserved. Tag me on instagram @syadrabakri if you want to share special part or everything about this stories.

Indonesia, 11 Januari 2021 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

Menolak Bersama [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang