Bab 17 - Kecerdasan

109 22 38
                                    

Kematian adalah hal yang pasti.

•••••

Gedung bertingkat bewarna biru sebelah kiri kota itu menjadi tujuanku saat ini. Tidak hanya itu, tempat ini juga menjadi alasan ekonomi keluargaku bisa bertahan sampai sejauh ini.

Lalu lalang para karyawan aku jumpai saat kaki ini pertama menginjak ke lobi. Aku juga melihat beberapa dari mereka fokus pada layar komputer, tak jarang ada yang berlari naik turun tangga dan keluar masuk ke lift.

Tidak banyak menghabiskan waktu aku langsung menuju ke bagian resepsionis. “Ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita di hadapanku.

“Bapak Ahmad Akbar hari ini masuk?” tanyaku sambil sedikit mengedarkan pandangan.

“Bapak Ahmad Akbar manager keuangan itu, ya?” aku mengangguk. “Saya akan tanyakan ke bagian HRD sebentar.” Perempuan itu kemudian menelepon salah satu rekannya di bagian HRD. Telepon baru tersambung beberapa detik, kemudian putus lagi.

“Mohon maaf, Kak. Hari ini Bapak Ahmad mengambil cuti sejak kemarin.” Jawaban seperti ini rasanya sama sekali tidak membuat aku terkejut.

Bertahan dengan rasa sakit atau justru melepaskan meskipun sakit?

Dari dua pernyataan ini mana yang akan menjadi pilihannya. Jika ayah tidak melakukan hal bejat itu, mungkin keluarga kami masih baik-baik saja. Damai seperti biasanya.

Aku ingin semua kembali baik-baik saja apabila bisa aku perbaiki. Setidaknya aku bisa tenang jika memiliki pilihan yang mendamaikan, sehingga saat kematian mendadak terjadi padaku, aku tidak memiliki tanggungan untuk ini semua.

Sejak mengetahui aku mengidap aritmia, aku menjadi jauh lebih was-was akan kematian. Kematian itu sudah pasti, bahkan ketika sudah dekat, kita tidak bisa menghindar lagi. Maka mempersiapkan semuanya itu lebih baik. Dari pada menyesal di akhirat nanti.

Tidak ingin berlama-lama, aku langsung kembali pulang setelah mengucapkan terima kasih pada resepsionisnya. Rasanya aku lelah dibohongi. Aku saja lelah, apalagi amih?

Setelah membersihkan tangan dan kaki, aku menuju kamar amih. Aku membuka pintu pelan-pelan takut amih sedang tidur. Rupanya beliau sedang asyik dengan ponselnya.

“Mih.” Amih menoleh lalu tersenyum ke arahku.

“Kenapa, Sayang?” tanyanya.

“Eila mau ngomong.” Amih meletakkan ponselnya, lalu menghadapkan seluruh tubuhnya ke arahku.

“Mau ngomong apa?”

“Amih ... nggak capek dibohongi terus?” tanyaku pelan karena takut menggoreskan luka di hatinya. “Maksud Eila ... apa Amih nggak mau buat pilihan daripada seperti ini?”

“Eila. Dalam rumah tangga ada naik turunnya, Sayang.”

“Tapi konfliknya nggak selingkuh juga, Mih.”

“Oke. Kalau dibilang capek, of course Amih lelah, tapi Amih mau bertahan meskipun digeluti rasa sakit.” Aku tidak salah dengar, ‘kan?

Amih menatapku lembut. Sejenak ia menghela napas kemudian berkata, “Setiap orang berhak memiliki kesempatan kedua, Eila.”

Menolak Bersama [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang