2. Putus

283 50 110
                                    

The current pain can be a warning from Allah to make us aware of our mistakes.

•••••

Kejadian kemarin seakan membuatku memutar otak mengingat Hanif yang terlihat khawatir. Bayang-bayang tampang barunya itu menghantuiku hingga detik ini, bahkan, aku sampai menunda mandi gara-gara mengingat laki-laki itu. Sama sekali tidak lucu, apabila aku telat berangkat sekolah dengan alasan; gagal mandi karena bayang-bayang Hanif yang terus menghantui. It’s crazy.

Seseorang membuka pintu kamarku. Mendelik seketika saat melihatku masih santai dengan pakaian tidur dan handuk yang menyelempang di bahu. “Ei. Kamu mau telat lagi?” tanya wanita yang kupanggil amih, alias ibuku.

Kugelengkan kepalaku. “Kayaknya Eila mau bolos deh, Mih.” Tidak usah ditanyakan bagaimana mata wanitaku membulat dengan raut wajah yang siap meledak kapan saja. Kedua tangannya sudah menangkring sempurna di pinggang, ditambah tanduk gaib itu sudah memenuhi isi kepalanya. Merasa ini sudah tidak aman, aku berdiri, menyengir sebentar, kemudian melesat ke kamar mandi.

Bukan perempuan pada umumnya yang hobi berhias dan mampu merawat kulit tubuh dengan baik, aku mandi tak banyak melakukan ritual, hanya; sikat gigi, cuci muka, dan memakai sabun tak sampai kaki, cukup sampai paha, setelahnya bilas dan keluar dari kamar mandi.

“Dingin.” Kuraih gagang pintu lemari, dan mengambil seragamku yang sudah rapi menggantung di dalam sana.

Dering ponsel membuatku mengalihkan pandangan dari cermin ke arah nakas. Dengan malas aku melangkah mendekat dan melihat siapa yang pagi-pagi meneleponku. Kinara? Ada apa?

Kugeser ke atas panel hijau muda itu, dan menempelkannya ke telinga dengan sanggah bahu karena aku sedang memakai sabuk.

“Please, tolong kamu dateng agak cepetan, ya?”

“Kenapa?” tak biasanya Kinara memintaku datang ke sekolah lebih cepat. Pasti ada yang tidak beres. “Kamu nggak papa, kan, Kin?”

“Aku nggak papa, yang nggak baik-baik aja itu Laura.”

Kukerutkan dahi. “Kenapa dia?”

“Dia lagi sakit.” Seketika pergerakkanku terhenti. Kubetulkan lagi ponselku. Menyimak dengan seksama barangkali aku salah dengar.

“Sakit apa?”

“Sakit hati.” Hah? Bentar, keloadinganku dimulai.

“Udah kamu pasti nggak paham. Sini cepetan. Nanti kita semua males ngulang kalau kamu dateng telat  tau sendiri brain four-Gmu nggak pernah berfungsi.” Aku menyengir. Merasa malu karena yang dikatakan Kinara memang benar.

—————

Tungkaiku melenggang memasuki kelas setelah beberapa kali bertegur sapa dengan beberapa murid yang kukenal saat melewati koridor. Kelima sahabatku terlihat menghela napas lega setelah melihat kedatanganku.

Kududukkan tubuhku di bangku tepat samping Yolanda duduki. Melepas tas di punggung kursi, lalu menatap mereka berlima bergantian. Kali ini, ada yang tampak berbeda, Laura. Gadis itu terlihat sedikit berantakan dengan kantung mata yang membesar, bahkan hijab yang ia kenakan tidak simetris dengan wajahnya.

Menolak Bersama [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang