Bab 25 - Dalang

108 20 46
                                    

Jangan pernah bermimpi bisa mendapatkan semuanya saat kamu sendiri ‘lah dalang yang sudah menghancurkannya.

•••••

Seorang dokter diikuti dua suster masuk ke ruang rawat inapku. Salah satu di antaranya ada Suster Mayang. Mereka tersenyum. Entah senyuman yang menguatkan aku sebagai bentuk support, atau justru akan ada kabar baik hari ini? Entahlah.

Nur Eila Akbar, dia bukan wanita kuat yang bisa bangkit lebih cepat saat dikecewakan. Dia rapuh sebetulnya, tapi dia mencoba untuk terlihat baik-baik saja. Ia tak ingin mengkhawatirkan semua orang.

Dokter Livana, dokter yang kemarin membantuku melakukan MRI mengulurkan tangannya. Aku mengerutkan dahi, sedangkan ia menggunakan matanya untuk menitahku membalas uluran itu.

“Selamat, ya,” katanya setelah aku menjabat tangannya.

“Selamat untuk?”

“Kamu boleh pulang hari ini?”

Tidak, ini bukan mimpi, ‘kan?

“Selamat Princess.” Tiba-tiba Kak Ibra masuk ke ruangan dan membawa buket bunga mawar putih kesukaanku. Dia tersenyum sangat menawan. Ia mendekat dan memberikannya padaku, ia juga hendak memeluk, tapi kutahan.

“Pelukan pertama setelah pernyataan ini harus untuk Amih.” Amih yang mendengarnya seketika merengkuh tubuhku dengan hangat. Aku memejamkan mata menikmati atmosfer kali ini. Terima kasih ya Allah.

“Dokter jadi ikut seneng. Sehat selalu, Eila,” kata Dokter Livana. “Ingat ya, meskipun udah pulang kamu nggak boleh stress dan nggak boleh capek supaya kondisi jantung kamu selalu baik,” imbuhnya yang kuangguki.

“Terima kasih, Dok.” Beliau mengangguk.

“Don’t mention it. Ini sudah jadi kewajiban saya sebagai seorang dokter. Kita berjuang sama-sama Eila. Terus kencangkan doa karena hanya satu hal yang akan bisa menembus dinding yang kokoh lagi keras, yaitu doa.”

“Apa sudah tidak ada tes-tes lagi, Dok?” tanya amih.

“Ada. Tes-tes selanjutnya akan dilakukan secara berjalan. Eila butuh udara segar, jadi kita bolehkan pulang. Nanti akan ada telepon dari pihak rumah sakit terkait jadwal Eila kontrol, ya.”

Kami serempak mengangguk.

Setelah mendapat titah dari Dokter Livana, suster di samping beliau bergerak melepas selang infusku, sedangkan Dokter Livana sendiri pamit untuk melakukan visit pada pasien lain.

“Kita pulang naik grab aja. Biar nanti Kak Ibra yang bawa motor Amih,” kata amih yang serempak aku dan Kak Ibra angguki.

Beres dengan semuanya, amih dan Kak Ibra sama-sama menggeret koper dan beberapa barang kami. Saat berpapasan dengan suster-suster yang ada di sini aku tersenyum sesekali mengucapkan terima kasih, terlebih dengan Suster Mayang. Ah wanita itu.

Kami berpapasan di lorong pertigaan depan yang akan menuju jalan utama keluar dari rumah sakit pintu samping. Ia melemparkan senyumnya pada kami.

Seketika aku berhenti. Setelah hari itu aku lupa untuk mengucapkan terima kasih padanya. Aku berteriak memanggil Suster Mayang yang berjalan tak jauh dari posisiku semula. Suster itu diam dan menoleh ke belakang.

Tanpa basa-basi aku memeluknya. Tidak sopan, tapi semoga dia mau kupeluk.

“Terima kasih. Suster pasti sudah tahu waktu itu saya akan ke mana. Semoga Allah yang balas kebaikan Suster.”

“Kita teman Eila, jangan panggil saya ‘suster’.”

“Okay not nurse, but sister.” Beliau tersenyum, lalu kembali mengeratkan pelukan ini. Tiap masalah punya hikmah. Terima kasih sudah dipertemukan dengan orang-orang baik di rumah sakit ini ya Allah.

—————

Kini aku dan amih sedang perjalanan menuju rumah mengenakan grab, sedangkan Kak Ibra menaiki motor amih dan melaju lebih dulu. Anehnya Kak Ibra melesat ke arah yang aku tidak tahu akan ke mana.

“Mih, kok Kak Ibra ke sana? Bukannya lurus, ya?” tanyaku.

“Lurus, tapi Kak Ibra pulang lah, Ei.”

“Lho, tapi itu rumah kita lewatnya sana. Kok Kak Ibra ke sana?” tanyaku tak paham. Amih hanya tersenyum sambil menggeleng.

Tidak terasa kami sudah sampai di depan gerbang sekolah Lashif. Agak jauh sedikit, aku melihat ada pria parubaya yang kukenali dia ayahku. Hanya saja, ia tak seperti biasanya. Apalagi saat, astaghfirullah!

Aku memejamkan mata terkejut kala bentakan tak sopan itu masuk dengan kasar ke telingaku. Aku buru-buru turun dari mobil dan berjalan mendekat ke arah di mana Lashif dan ayah berada.

“Stop,” kataku begitu mendekat ke arah mereka. Ayah dan Lashif serempak menoleh. “Harus banget mempermalukan diri di depan sekolah anaknya sendiri kayak gini?” sarkasku.

Ayah mengusap wajahnya, ia menatapku. “Lashif anak Ayah juga.”

“Tau kok, nggak ada mantan ayah atau mantan ibu, ‘kan?” sejenak aku menghela napas, membuang muka, lalu menatapnya lagi, “tapi caranya kayak gini. Nggak etis diliat orang.”

Jujur, sebenarnya aku sedih dengan semua ini. Jika boleh memilih, aku tak akan membiarkan keluargaku runtuh dengan cara seperti ini. Jika diizinkan memilih, aku hanya ingin maut yang akan menjadi pemisah, bukan talak.

“Ayo ikut Ayah, Lashif!” kata ayah sambil menarik tangan Lashif, anak itu buru-buru menghindar dan berdiri di belakangku.

“Pengadilan sudah memutuskan bahwa hak asuh Lashif ada di Amih. Pekara Eila, di hadapan hakim nanti dan disaksikan banyak orang, Eila juga akan memilih Amih. Jangan pernah bermimpi tinggi untuk bisa mendapatkan semuanya saat Ayah sendiri yang sebelumnya telah menghancurkannya.”

“Lashif nggak mau ikut Ayah!”

Lashif berteriak tak menyetujui ini semua. Ia menggenggam kuat tanganku ketakutan, sedangkan amih mulai mengelus bahunya menenangkan.

“Dia ayah kamu, Lashif.”

Seorang wanita tiba-tiba datang dari arah kanan. Cih, pelakor. Aku membuang muka malas, ternyata dia masih berani setelah semua yang terjadi. Tidak ada urat malu?

“Pengakuan Ayah nggak berlaku semenjak dia sudah menyakiti hati Amih,” kata Lashif yang membuat aku melengos. Dia ... sudah berani melawan.

“Oh ini ajaran Mama kamu?” tanya Venisa tiba-tiba.

“Sinting ya? Mirror, dong. Dibanding kamu, lebih waw ibu saya,” kataku penuh penekanan. Aku menudingnya, “Jangan hobi menghina ibu saya, jika Anda saja tidak sadar diri. Perlu kaca? Mungkin hanya kaca yang akan memperjelas siapa posisi Anda di sini. Selingkuhan.”

Venisa terlihat menggeram. Aku tersenyum sinis. “Mental yupi kok sok-sokan jadi pahlawan. Ngaca dulu, Bos,” kataku lalu menggeret amih masuk ke dalam taksi begitupun dengan Lashif.

•••••

To be continued.

Greget? Sama.

All rights reserved. Tag me on instagram @syadrabakri if you want to share special part or everything about this stories.

Indonesia, 25 Maret 2021 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

Menolak Bersama [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang