7. Buaya Liar

137 31 63
                                    

Kamu yang kukira dingin dan anti mainstream, ternyata buaya liar yang sedang menyamar.

•••••

Netra ini menangkap asing ruangan dengan nuansa bambu yang terlihat begitu cantik. Dua lampu kecil bewarna kuning membuat ruangan ini elegan. Di mana aku?

Kepalaku terasa begitu berat dan pusing. Kupijit pelipisku pelan. Ruangan ini kosong, hanya ada aku. Bukannya tadi ... seketika memoriku kembali mengingat laki-laki itu. Ulu hati terasa begitu perih.

Aku berusaha untuk menyibak kelambu putih yang menutupi ranjang. Aku bangkit dan berjalan pelan-pelan. Perlahan, suara pintu terbuka membuat mataku memusat ke arah pintu. Terlihat Devina tersenyum dan berjalan ke arahku sambil membawa segelas air.

“Gimana keadaan kamu?” tanyanya, aku hanya tersenyum tipis. Fisik memang terlihat baik-baik saja, tapi hati ini seakan tengah menjerit kesakitan. Aku tidak tahu, rasanya aneh saja. Padahal hanya coba-coba, tapi terasa begitu kehilangan.

Apa yang kulihat tadi, kurasa cukup sampai di sini permainan ini. Biarkan Hanif bahagia bersama pujaan hatinya. Aku bukan perempuan buta yang hanya bisa mengejar cinta manusia. Mengejar cinta Allah saja masih setengah-tengah, eh udah berani dekatin ciptaan-Nya saja. Sadar Ei.

Devina menyodorkan segelas air sambil menitahku untuk duduk di kursi depan ranjang. Hanya dengan tiga kali tegukan aku berhasil menghabiskan air tersebut. Bola mataku memutar mengamati suasana ini dalam-dalam.

“Ini di mana Dev?” tanyaku tanpa melihat ke arah Devina, “yang lain juga ke mana?”

“Bagus, ya?” tanya gadis itu yang kuangguki. “Ini kamar pemilik resto yang kita kunjungi tadi. Namanya Tante Venisa, kita panggil dia Tante Ven. Baik banget orangnya, dia malah yang nolongin kamu dan tanpa ragu bawa kamu ke kamar dia.”

Aku memangut-mangutkan kepala. “Orangnya mana?” tanyaku.

“Masih di luar. Habis ini ke sini mungkin. Eh, tau, nggak?” aku menggeleng. “Tadi kamu pingsan di depan Hanif, Tante Ven suruh Hanif gendong kamu ke sini, loh.”

Tiba-tiba tenggorokanku terasa tercekat. Jantungku berdetak tak normal. Ini bukan yang pertama, tapi rasanya masih sama. Ah. Lamunan itu buyar ketika disadarkan Hanif sudah memiliki pawang. Sudahi permainan ini Eila. Kamu gila.

“Serius? Pacarnya gimana?” tanyaku.. Aku banyak belajar dari internet, termasuk dengan cara supaya teman-teman kita tidak mudah menebak isi pikiran di saat sedang cemburu. Tunggu, apa aku cemburu?

Entah, aku juga tidak tahu. Aku juga mulai saat ini tidak ingin tahu apa pun.

“Pacarnya siapa?” Devina balik bertanya. Malas sekali jika harus mengulanginya lagi.

Pintu kamar kembali dibuka, aku urung untuk menjelaskan lebih detail ke Devina, kini kami berdua fokus pada seorang wanita yang seperiya lebih muda dari amih.

Devina bangkit. Wanita itu tersenyum menatap kami. Dengan kikuk aku membalas senyuman itu. Kurasakan ada sesuatu yang berbeda saat menatap matanya. Entah mengapa, wanita ini terlihat meresahkan di hadapanku. Sedikit ... aku teringat ayah.

Dengan ragu aku menyalimi tangannya. “Kenalin, ya. Saya Venisa, panggil saja Ven.”

Aku mengangguk. “Saya Eila.”

Menolak Bersama [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang