Semua orang baik, tapi tergantung penilaian orang lain. Mereka bukan merek rokok, jadi tidak sampoerna.
•••••
Penjagaan rumah sakit sangat ketat, aku jadi bingung harus keluar lewat arah mana. Di depan pintu sana ada penjaga, bahkan para perawat tak jarang mengecek keadaan pasien saat pasien tidur. Bagaimana ini? Tidak mungkin aku membiarkan orang rumah berantakan. Jika saja ada Kak Ibra, mungkin kami akan bekerja sama dan saling menguatkan.
Mau tidak mau aku harus keluar lewat pintu ini, tidak mungkin aku melewati jendela yang tidak ada pintunya. Oh ayolah, ini sangat membingungkan. Aku perlu bantuan seseorang, tapi siapa? Apa ... Hanif? Hanya dia satu-satunya orang yang tahu tentang masalah keluargaku.
Eh, tapi masa iya harus Hanif? Tapi, jika tidak ada orang yang bisa membantuku, aku akan semakin kesulitan keluar dari sini.
Aku berjalan ke arah nakas dan mengambil ponsel, lalu mencari nama Hanif di list chattingku.
Pukul 22.37 semoga Hanif belum tidur. Aku menghela napas gusar, lalu menekan gambar panggilan di samping titik tiga yang ada di pojok kanan.
Connecting.
“Halo, Eila?” suaranya dapat aku dengar dengan jelas, tapi jantungku malah berdebar, suara Hanif sedikit serak seperti baru bangun dari tidurnya. Aku jadi merasa tidak enak.
“Hanif, kamu sibuk nggak malam ini?” tanyaku.
“O–oh enggak. Kenapa emang? Kamu perlu bantuan? Bilang aja, nggak papa, kok.” Aku mengerutkan dahi bingung, kenapa Hanif bisa sepeduli ini?
“Kamu ke rumah sakit, ya. Tau ‘kan kamarnya? Aku butuh kamu.” Hanif memutus teleponnya sepihak. Aku bingung harus bagaimana, aku duduk di tepi ranjang berharap Hanif mau membantuku. Meskipun aku tahu ini sangat kurang ajar.
Tidak lama, pintu ruangan terbuka, aku berdiri menatap siapa yang datang. “Hanif.” Aku bernapas lega kala pemuda itu ada di sini, aku mendekat ke arahnya dan buru-buru menutup pintu.
“Eila, ngapain infusnya kamu lepas?” kata Hanif yang baru menyadari kedua tanganku bebas dari infus. “Eila kamu lagi sakit, jangan bandel kenapa sih?” laki-laki itu hendak memanggil suster dengan nursecall yang terpasang di dinding belakang ranjang.
“Hanif jangan.”
“Eila jangan bandel, kamu lagi sakit!” aku tidak tahu kenapa Hanif jadi seprotektif ini.
“Hanif, aku telpon kamu bukan untuk ini. Aku telpon kamu karena aku butuh kamu.”
Hanif mengusap wajahnya kasar. “Eila, aku nggak bisa lama-lama di sini, nggak enak sama yang lain, kamu butuh apa? Let me know.”
“First, aku mau bilang makasih banyak kamu udah mau dateng ke sini. Aku nggak tau lagi aku mesti gimana kalau nggak ada kamu.” Aku mengusap wajah, “Cuma kamu yang tau tentang keluarga aku.”
“Are you okay?” tanyanya lagi. Aku menggeleng. “Why?” tanyanya.
“Anter aku pulang, Amih sama Ayah perang hebat di rumah, Han. Aku nggak tau aku mesti gimana. Sebagai seorang anak aku sangat-sangat nggak bisa tinggal diam kalau situasinya kayak gini. Aku mohon bantu aku keluar dari sini.” Hanif menghela napas, aku langsung menangkupkan kedua tanganku. “Hanif, aku janji setelah ini semua selesai aku akan balik ke sini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Menolak Bersama [END]
Teen Fiction[Teenfiction - Spiritual] "Tak akan mampu aku mengeratkan genggaman itu, jika hubungan ini sudah berada pada puncak kehancurannya. Terima kasih telah ada, meski dalam jiwa masih mengharapkan ragamu, tapi maaf. Hari ini. Aku menyerah." Menolak Bersam...