Dirga.
Suasana pagi di rumah Dirga selalu sama, dari hari ke hari, dari dulu sampai sekarang. Paginya disambut dengan dering alarm yang seakan memekikan telinga. Mandi pagi dan bersiap-siap untuk bekerja secara online membutuhkan waktu beberapa belas menit saja, toh dia hanya perlu rapi di bagian atas. Bagian bawah sih tidak perlu dipikirkan, karena rekan kerjanya tidak ada yang lihat juga. Kecuali dia secara tidak sengaja berdiri saat melakukan meeting online, itu baru bencana.
Menapakki tangga ke lantai satu rumah, aroma masakan dari dapur langsung menyerbak ke hidungnya. Waktu di layar handphonenya baru menunjukkan pukul tujuh pagi, tapi perutnya sudah harus diisi karena penyakit yang sering diderita anak kostan dulu.
Sakit maag.
Kasihan memang.
Hidup kuliah Dirga hanya berisi dengan jiwa yang ambisius sampai-sampai bisa meminum kopi tiga kali sehari seperti orang sinting. Alhasil, sakit maagnya melekat sampai sekarang.
"Mi, papi udah bangun?"
Dirga membuka pintu kulkas dan mengeluarkan segelas air. Dia menuangkannya ke gelas dan meminumnya dengan cepat.
"Belum. Bangunin gih papi kamu. Sekalian anterin ke sini."
Kakinya lagi-lagi terseret di atas lantai keramik yang dingin. Keadaan udara sekitar akhir-akhir ini lebih dingin dari biasanya, sampai membuat keramik jadi ikutan dingin. Dirga membuka pintu kamar orangtuanya secara perlahan dan mengintip ke dalam. Kepalanya menyembul dan senyuman kecil terpatri karena melihat papinya masih tertidur di atas kasur. Langkahnya secara perlahan dia majukan, mendekati kasur dan duduk di pinggiran kasur sambil menepuk-nepuk pelan lengan atas papinya.
"Pi, bangun. Mami udah buat sarapan."
Sebagai pencetus Light sleeper di keluarga Danureksha, papinya langsung membuka mata perlahan dan tersenyum ke arah Dirga, yang langsung dibalas juga senyumannya.
Dirga mendudukan badan papinya di atas kasur, menyodorkan air minum ke papinya yang disambut dengan senyuman lebar.
"Kamu kerja atasan pake kemeja tapi bawahnya celana kolor doang?"
Pertanyaan itu membuat Dirga tersenyum, lebih tepatnya tersenyum miris.
"Iya pi, males rapi-rapi. Yang liat bawahan Dirga juga ga ada"
Air minumnya sudah tersisa setengah gelas dan kembali ditaruh di atas nakas. Dirga berdiri, berusaha membantu papinya untuk ikut berdiri. Helaan napas berat papinya membuat Dirga sedikit meringis, karena akhir-akhir ini keadaan papinya tidak terlalu baik. Stroke ringannya sering sekali kambuh, sampai-sampai kakinya menjadi lebih lemas dari biasanya.
"Pi, nanti Dirga beliin kursi roda ya."
Mereka berdua berjalan ke arah ruang makan dengan papinya yang berjalan tertatih. Dirga hanya bisa menopang badan papinya, takut kalau papinya itu terjatuh dan semacamnya. Untung saja kamar kedua orangtuanya sudah berpindah dari lantai dua ke lantai satu, karena dia tidak terbayang seberapa sulitnya kalau begitu. Terlebih lagi saat Dirga dan kakaknya ga ada di rumah, kasihan maminya.
Keluarga kecilnya pun menyantap sarapan dengan sangat tenang. Diselingi papi dan maminya yang mengobrol beserta Dirga yang kadang hanya merespon dengan singkat. Suara dentingan akibat perpaduan sendok dan piring kembali memenuhi ruangan, Dirga pun masih fokus dengan sarapannya sampai mami menanyakan sesuatu.
"Kakak mu udah ada kabarnya?"
Dirga seketika berhenti mengunyah. Dia mengangkat wajahnya dan menatap maminya dengan tatapan datar. Gelengan kecil dari Dirga hanya dibalas anggukan maklum oleh orangtuanya, karena memang mereka sudah terbiasa. Terbiasa dengan memiliki dua anak, tapi hanya serasa memiliki satu.
KAMU SEDANG MEMBACA
inbetween | doyoung x joy
Подростковая литератураDi antara kita, ada banyak perasaan yang harus dipikirkan. Di antara kita, masih banyak tujuan yang perlu dicapai sebelum aku dan kamu menjadi kita.