Cherish every moment with your precious person, they said.
Dirga awalnya tidak terlalu memperdulikan kalimat semacam itu, karena sebagian besar hanya bualan belaka yang bahkan dia sendiri muak mendengarnya.
Dulu, dia tidak terlalu memperdulikan itu, tapi sekarang dia mulai menyesali kecuekannya.
Dirga pulang dari rumah Joanna pukul enam pagi dan sesaat setelah dia membuka pintu utama, teriakan maminya menggema ke seluruh penjuru rumah. Dirga tanpa pikir panjang langsung mendekati sumber suara, membuka pintu kedua kamar orangtuanya dan berlari ke arah papinya yang sudah terkapar kaku di lantai. Mami yang masih panik dan takut hanya bisa terduduk di samping papi sambil menggoyangkan badan suaminya itu dan terus menerus memanggil namanya.
"Mi, telfon ambulans." pinta Dirga sambil mengecek denyut nadi dari papinya.
Lemah. Bahkan dia hampir tidak bisa merasakannya kalau tidak dengan sedikit tekanan. Dirga menghitung dalam hati selama enam detik, tapi denyut nadi dari papinya hanya terasa samar bahkan hampir tidak ada. Dengan hembusan napas keras, Dirga menoleh ke arah mami dan menatapnya dengan serius.
"Mi? Jangan panik dulu. Telfon ambulans, ya? Papi bakal baik-baik aja."
Menuruti perkataan Dirga, mami langsung buru-buru meraih handphone miliknya dan menelfon rumah sakit dengan suara yang bergetar. Sedangkan Dirga sendiri langsung menidurkan papinya di lantai dengan posisi semestinya dan melakukan pijat jantung. Sambil menghitung dalam hati, Dirga terus menekan dada milik papinya berulang kali dengan penuh kehati-hatian. Rumah sakit dari rumahnya tidak terlalu jauh jadi dia rasa dia hanya harus melakukan ini terus-menerus selama sepuluh menit.
Dia tidak boleh berhenti, walaupun tangannya akan terasa mati rasa sekalipun.
Mami yang sudah selesai menelfon ambulans langsung menghampiri mereka berdua dan kembali memanggil nama papi sambil terisak. Tangisan maminya membuat Dirga sedikit meringis dan berusaha sekuat mungkin untuk tidak ikut panik.
"Pi, bangun pi.." bisik Dirga sambil masih melakukan CPR. Nafas Dirga mulai berderu karena kegiatan yang dilakukan berulang-ulang tersebut berhasil membuatnya lelah. Dia mengigit bibir bawahnya dan masih terus menekan dada papinya secara berulang sambil terus memanggil nama papinya.
Tidak lama dari itu, ambulans yang mereka panggil pun datang. Dirga dengan sigap langsung berhenti melakukan CPR dan duduk terpaku saat beberapa perawat mengangkat badan papinya ke tandu dan membawanya turun ke bawah. Beberapa bulir keringat berada di pelipis dan dahinya, dengan napas yang masih sedikit menderu.
Kesadarannya pun kembali saat pundaknya ditepuk oleh seorang perawat dan dengan cepat, Dirga ikut menyusul maminya untuk masuk ke dalam ambulans. Dia duduk di sebelah kanan papinya yang kembali diberi CPR karena detak jantungnya tidak kunjung kembali. Dirga mengenggam sebelah tangan papinya dengan sangat erat dan langsung menunduk. Beberapa bulir air mata menetes dari ujung matanya dan bahunya sedikit bergetar, membuat mami yang sudah sedikit lebih tenang langsung mengelus punggung Dirga dengan lembut.
Mungkin mulai dari detik itu juga, Dirga tidak ingin mendengar suara sirine lagi untuk selamanya.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Joanna bangun dengan Dirga yang sudah tidak lagi berada di sampingnya. Waktu di handphonenya menunjukkan pukul tujuh pagi dan kelas pertamanya hari ini akan dimulai setengah jam lagi. Meregangkan badannya saat turun dari kasur, Joanna langsung berlari ke arah kamar mandi dan bersiap-siap.
"Astaga kayaknya liburan kelamaan bosenin, tapi mau kuliah lagi rasanya males banget." Desis Joanna yang sudah selesai mandi dengan rambut panjangnya yang dia gulung dengan asal. Dia hanya butuh sepuluh menit untuk bersiap-siap dan setelahnya dia turun ke lantai bawah untuk sarapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
inbetween | doyoung x joy
Ficțiune adolescențiDi antara kita, ada banyak perasaan yang harus dipikirkan. Di antara kita, masih banyak tujuan yang perlu dicapai sebelum aku dan kamu menjadi kita.