12.00

934 135 14
                                    

Ares

Dulu mamanya pernah bilang, hiduplah selayaknya seonggok daging yang diberi nyawa. Kehidupan di dunia yang penuh kedewasaan membutuhkan energi yang besar dan mungkin akan menguras habis tenaganya. Dulu, Ares hanya mengiyakan perkataan itu tanpa tau maksudnya. Dia tidak tau kalau perkataan mamanya akan sangat berdampak pada dirinya sekarang.

Berat.

Semua terkesan berat sekarang. Hidupnya, perasaannya, akal sehatnya.

Dia ingin lepas, menapakkan kakinya keluar dari suatu kubus yang mengekang badan dan jiwanya, tapi bagaimana?

"Ngelamun ga bikin masalah lo kelar."

Petikan senar gitar yang sedari tadi mengiringi lamunannya langsung berhenti. Semua pasang mata kini menatapnya dengan pandangan yang sudah dia hafal sedari dulu.

Penuh iba.

Tatapan yang sangat dia benci sedari kecil.

"Lanjutin aja. Gue cuma ga sengaja ngelamun."

Ares menghisap satu puntung tembakau itu dan menghembuskan napasnya kasar. Asap rokok langsung memenuhi balkon kamar Haidan, temannya di kampus sekaligus pemilik basecamp mereka. Joanna pasti tidak suka melihatnya yang sekarang, perokok berat.

Tawa kecil secara refleks keluar dari bibir Ares, diiringi dengan gelengan kepalanya yang terkesan meremehkan dirinya sendiri.

Joanna.

Kenapa perempuan itu sangat sulit untuk digapai sekarang?

"Lo mau nginep di sini Res? Biar gue bilangin nyokap buat masak makan malemnya banyakan." Haidan bertanya dengan tatapan yang masih terfokus ke layar handphonenya, memainkan PUBG dari satu jam yang lalu.

"Gatau. Nyokap belom bales chat gue."

Haidan mengangguk dan kembali fokus. Dia tau dengan sangat jelas, kalau Ares tidak akan ada di rumah kalau mamanya tidak pulang. Walaupun Haidan tidak sepenuhnya kenal dengan keluarga dan masa lalu Ares, tapi dia berusaha untuk memahami. Semua tindakan pasti ada alasan dan orang seperti Ares, yang memang kadang impulsif, perlu alasan yang jelas dari tiap tindakannya.

Ting!

Handphone milik Ares berbunyi, menyebabkan layarnya menyala dan Haidan sempat meliriknya sebentar. Lockscreen dari handphone Ares masih sama sedari dulu, yaitu fotonya saat di bangku sekolah dengan seorang perempuan yang Haidan hanya kenal namanya saja.

Joanna?

Iya, Joanna.

"Lo kapan mau ganti lockscreen? Pake foto yang terbaru dong."

Rendy pada akhirnya buka suara. Mengatakan hal itu dengan mudahnya seakan-akan semudah membalikan telapak tangan.

"Belum saatnya."

"Kenalin ke kita dong, bang. Gue penasaran orangnya kayak gimana."

Sekarang gantian Putra yang berbicara, membuat kepala Ares semakin sakit. Haidan seketika langsung menendang kaki Putra dengan pelan, karena seketika suasana menjadi lebih muram setelah dia berkata seperti tadi.

Ares adalah pribadi yang sangat tertutup jika menyangkut urusan pribadinya, dia sangat tidak suka kalau keluarga dan orang terdekatnya dibicarakan dengan asal, dan Haidan tau sepertinya perkataan Putra tadi membuat Ares kesal.

Terlebih lagi beberapa hari ini Ares terkesan lebih pendiam dari biasanya, hanya ada satu hari di mana dia tersenyum senang tapi setelahnya kembali murung lagi.

inbetween | doyoung x joyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang