Dirga ingat betul kapan terakhir kali dia kekurangan tidur yang bahkan sampai membuat kepalanya pusing walaupun sudah mencoba melelapkan diri untuk beberapa jam. Hal itu dia rasakan dulu, saat masa-masanya memperjuangkan skripsi dan mengejar jadwal sidang jurusannya. Namun setelah merasakan seberapa menyiksanya fase itu, Dirga berjanji kepada dirinya sendiri kalau dia tidak akan mengulangi fase tersebut.
Masalahnya, janji hanyalah sekedar janji.
Fase menyiksa itu buktinya datang lagi, tapi dalam keadaan yang sangat berbeda.
Kehamilan Joanna sudah menginjak hampir tiga bulan lamanya. Perutnya sudah mulai membuncit dan Dirga tidak pernah semalampun melewati rutinitas memijat kaki Joanna yang juga ikut pegal setiap harinya karena berat di badannya bertambah.
Selain itu, Dirga juga senantiasa memenuhi keinginan Joanna untuk memakan sesuatu yang pastinya boleh dia makan menurut dokter. Fase ngidam ini biasanya dibarengi dengan fase mual setiap pagi atau beberapa waktu tertentu yang tidak bisa tertebak, di mana seharusnya Joanna mengalami kedua hal ini.
Tapi memang sepertinya mereka diciptakan untuk benar-benar saling melengkapi, karena fase ngidam untuk makan makanan random Joanna alami, sedangkan fase mual dan muntah-muntah di waktu yang tidak terduga justru dialami oleh Dirga seorang. Hal itu membuat Dirga kurang tidur dan nafsu makannya jadi menurun. Entah dia harus merasa lega karena cukup dia sendiri saja yang merasakan fase menyiksa ini atau justru malah sedih karena isi perutnya terus menerus keluar walaupun dia sudah ke dokter sekalipun.
"Masih mual? Ajuin cuti sakit dulu aja yang buat dua hari ini..."
Joanna duduk di samping Dirga yang sedang terkapar lemas di atas kasur. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh dan biasanya Dirga sudah bersiap-siap untuk ke kantor.
"Udah gak terlalu... tapi aku udah bilang HRD di kantor kalau hari ini ijin dulu."
Joanna mengangguk, tapi tangannya mulai mengelus rambut Dirga yang sangat berantakan. Tidak seperti Dirga yang biasanya, si paling rapi dan teratur soal penampilan.
"Jangan dielus gitu..."
"Loh kenapa? Biasanya kamu suka aku elus gini,"
"Bahaya, nanti aku makin sering ijin kerja biar bisa dielus kamu doang."
Joanna tertawa geli. Ingin sekali dia menghadiahkan wajah Dirga dengan banyak kecupan, tapi pinggangnya sudah terlalu pegal untuk membungkuk terlalu lama. Baby bump yang dia miliki juga semakin menyulitkan pergerakannya dan mengharuskannya untuk berdiri dan duduk tegap terus menerus.
"Yang, mumpung aku hari ini ada di rumah, beli perlengkapan bayinya hari ini aja mau?"
"Heh, kita aja belum tau bayinya cowo apa cewe loh."
"Gak usah beli barang yang spesifik dulu kalau gitu? Kan banyak."
"Tapi kan kamu ijin hari ini karena sakit, yang. Bukan ijin mau nganterin aku belanja?"
Dirga yang tadinya tertidur di atas kasur langsung duduk dan memeluk Joanna dari samping, tangan kanannya secara sengaja dia taruh di atas perut istrinya dan dia elus perlahan.
"Demi kamu dan si kakak, morning sickness aku langsung ilang kok."
Joanna sedikit terenyuh saat Dirga menyebut anak pertama mereka dengan sebutan kakak. Ini bukan pertama kalinya Dirga mengucapkan sebutan tersebut, tapi hati Joanna masih terus saja terasa hangat saat mendengarnya. Joanna merupakan anak tunggal yang tidak pernah sama sekali dalam hidupnya dipanggil dengan sebutan kakak, sedangkan Dirga sendiri juga anak bungsu yang juga tidak pernah dipanggil seperti itu oleh keluarganya. Adanya seorang anak dalam kehidupan mereka nanti benar-benar akan memberikan banyak pembelajaran baru yang tidak bisa mereka dapatkan dari membaca buku parenting sekalipun.
KAMU SEDANG MEMBACA
inbetween | doyoung x joy
Teen FictionDi antara kita, ada banyak perasaan yang harus dipikirkan. Di antara kita, masih banyak tujuan yang perlu dicapai sebelum aku dan kamu menjadi kita.