Keadaan di Ibukota makin ke sini semakin memprihatinkan bagi semua orang. Baik yang memang bertempat tinggal di sana maupun yang hanya menumpang tinggal untuk mengarungi nasib di Jakarta. Semua pundi-pundi yang bisa mereka dapatkan di Jakarta seakan-akan sangat sulit dicari untuk beberapa waktu ke depan, karena keadaan yang sangat tidak memungkinkan.
Suara gemericik air yang terus menetes dari ujung plafon balkon apartemennya tidak membuat Dirga merasa terusik dari lamunan panjangnya, yang mungkin, sudah bertahan sejak lima menit yang lalu?
Sambil menatap langit-langit ruang tengah, Dirga hanya terdiam. Hanya ada suara tv yang samar-samar, tapi tidak sampai ke telinganya. Seakan hanya menjadi latar belakang dari sekian banyak pikirannya yang sedang berkecamuk.
"Lo gamau tidur?"
Dirga menoleh ke belakang, mendapati Joanna yang sudah keluar dari kamar mandi dengan wajahnya yang basah setelah cuci muka. Tangannya menurunkan knop pintu dan mendorong pintu kamar terbuka, Joanna masuk ke kamar dan meninggalkan Dirga yang kini sudah berdiri dari sofa dan mematikan tv. Dia berjalan dengan langkah gontai ke arah saklar dan mematikan lampu ruang tengahnya.
Jam dinding yang dia lewati sudah menunjukan pukul 11 malam dan suara jalanan ibu kota pun tidak sebising beberapa jam yang lalu, saat dia pulang dari kantor untuk terakhir kalinya.
Saat Dirga masuk ke kamar, Joanna sudah berbaring di salah satu sisi kasur sambil tersenyum menatap layar handphonenya. Terdengar suara beberapa orang yang berbicara bahasa asing, mungkin korea, yang Dirga yakin pasti Joanna juga tidak paham.
"Gue ga nyangka tadi itu bakal jadi terakhir kalinya gue dateng ke kantor."
Joanna yang sebelumnya masih asik tertawa kecil langsung terdiam, menoleh ke sisi kasur di sebelahnya yang sudah ditempati oleh Dirga.
"Lo daritadi diem di ruang tamu kayak orang ketempelan cuma karena mikirin ini? Seriously?"
"Bukan cuma ini, tapi ya salah satunya ini juga."
"Lo ga ada cicilan yang harus dibayar perbulan, belum punya tanggungan anak yang harus lo sekolahin, mobil lo beli dengan lunas tanpa cicil-cicilan lagi, dan ga punya berbagai masalah keuangan lain yang harus lo pusingin. Jadi, apa deh yang dipikirin?"
Dirga kembali menatap langit-langit, tapi kali ini langit-langit kamar yang dia tatap dengan sangat intens. Sedangkan Joanna sudah kembali menonton konten-konten ganteng yang disediakan idolanya sedari tadi.
"Kesehatan. Ga ada yang tau kedepannya kita bakal gimana kan? Itu yang gue takutin, Jo."
"As long as we have faith in ourself dan mematuhi protokol kesehatan yang dikasih, gue yakin kita semua bakal sehat sampai pandemi ini berakhir kok." Balas Joanna yang kini sedang membalas beberapa chat temannya.
"Don't you worry, gue ga bakal kenapa-napa. Mami sama Bunda gabakal kenapa-napa. Semua rekan kerja dan Fauzi Fauzan juga gabakal kenapa-napa."
Joanna mematikan handphonenya dan menaruhnya di atas nakas. Mematikan lampu tidur dan menarik selimut yang mereka berdua pakai sampai ke dagu. Dia berbaring ke arah Dirga, yang ternyata sudah berbaring sambil menatapnya lebih dulu.
"Tidur. Besok lo harus nyetir berjam-jam buat balik ke rumah."
"Lo bakal sehat-sehat terus kan Jo?"
Senyuman tipis terpatri di bibir Joanna. Anggukan kecil dia berikan sebelum memejamkan matanya perlahan.
"Kita semua bakal sehat, gausah khawatir."
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
"Princess, you're on your way to home now?"
KAMU SEDANG MEMBACA
inbetween | doyoung x joy
Teen FictionDi antara kita, ada banyak perasaan yang harus dipikirkan. Di antara kita, masih banyak tujuan yang perlu dicapai sebelum aku dan kamu menjadi kita.