Point of View || Author
Langit sudah menggelap. Tiga remaja itu sedang berkumpul di kamar Lucy. Mereka sudah sepakat untuk melakukan sesuatu. Canna, yang masih saja ragu dengan apapun rencana mereka terduduk di lantai dekat ranjang dengan cemberut. Rambut cokelatnya yang cerah malam ini ia ikat dengan ringkas agar memudahkan pergerakan."Aku yakin kita menemukan sesuatu, Blaire," cetus Lucy. Syal merahnya terlilit dengan asal, ujungnya meliuk-liuk ke sana kemari mengikuti pergerakan tubuh Lucy.
"Yah, yah. Kau ini, seringkali hanya memedulikan rencana tanpa mengkhawatirkan orang lain. Lihat Canna." Tulunjuk Blaire mengarah pada Canna yang memalingkan muka. "Dia tak semudah itu melakukannya."
"Cann, yakin lah padaku. Kita menemukan sesuatu. Kau tau? Aku sudah menebak apa kira-kira maksud syair itu." Lucy bersidekap sambil tersenyum sombong. Ya, dia memang sudah mencari tahu dan mengingat-ingat setiap detail informasi tentang Navda. "Lagi pula, kau ini kenapa, sih? Aku yakin ada alasan lain yang membuatmu semakin ragu untuk menelusuri Navdä."
Canna terperanjat. Lucy benar. Ia menghembuskan napasnya. Menyerah karena kedua temannya itu sejak tadi berusaha meyakinkannya, padahal ia sendiri menyimpan kegelisahan yang tak bisa langsung diutarakan begitu saja. Kegelisahannya bukan tanpa alasan, ia hanya takut Victor tau sejauh apa ia bertindak. Ah, pemuda itu bahkan bisa kapanpun membisikkannya sesuatu. Padahal ini adalah misi rahasia di antara mereka bertiga saja.
"Bukankah sudah kuceritakan?" Canna memandang kedua sahabatnya bergantian. "Victor, anak itu, dia bisa saja tau kemana aku pergi. Entahlah aku tak tau bagaimana caranya dia melakukan itu."
"Apa? Jadi, benar-benar seperti diikuti ya?" tanya Lucy kebingungan. Semangatnya yang membara-bara dengan cepat dipatahkan dengan fakta itu. Jelas ia tak ingin ambil resiko jika belum menemukan cara bagaimana bersembunyi dari pemuda yang selalu mengikuti sahabatnya itu.
Canna dan Lucy menghembuskan napas. Bahu mereka lunglai. Sia-sia sudah usaha yang mereka lakukan. Dari awal sudah repot memastikan segala sesuatu, mengecek apakah Lory pulang telat, hingga memberi seribu alasan pada wakil pengawas asrama agar mereka diizinkan untuk berkumpul.
"Ck, sebenarnya kita ini melakukan apa?" Blaire berdecak keras, tangannya menyeret buku yang dipinjam Canna dari perpustakaan. "Ayolah, kau tau, aku sudah terlanjur percaya pada kalian dan aku benar-benar ingin membantumu, Cann. Jadi tak usah menyerah semudah itu."
"Oh ya, dan masalah Victor yang sering tau tentang keberadaanmu, aku yakin sekali satu hal. Pemuda itu ada hubungannya denganmu, Cann. Ka-"
"Apa? Hubungan bagaimana?" Canna memotong kalimat Blaire dengan cepat. Tentu saja dia sangat terkejut dengan apa yang baru saja Blaire sebut.
"Ya. Semacam ... sihir pikiran atau apapun itu, aku jelas belum mengetahuinya dengan detail. Tapi aku tau sihir sejenis itu ada, dengan syarat kau harus punya hubungan darah atau ikatan batin yang kuat dengan orangnya." Blaire tersenyum. "Nah, sekarang bisa kau ingat lagi apakah dia mungkin keluargamu? Atau ada keterikatan antara kalian?"
"Hei! Bukankah ini juga masuk akal?" Lucy menimpali dengan antusias. "Victor mampu melakukan apapun, yah maksudku, dia bisa sihir dan menguasai teknik menghilang yang biasanya hanya di kelas shapeshifter kami mempelajarinya. Kupikir ... bukankah itu cukup berhubungan denganmu?"
"Eum, memang pada awalnya saat aku pertama kali melihat Victor, aku merasa pernah melihat wajahnya suatu kali. Namun, entahlah aku tidak ingat sama sekali," jawab Canna lesu. Dia mengeluh dalam hati. Memang apa sebenarnya yang Blaire harapkan jika saja Victor memang ada hubungan darah dengannya. Itu bukan hal yang membuat Canna bisa membebaskan diri dari pemuda itu, justru mempersulit keadaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Siver Crown
FantasyMenjadi remaja terpilih tak membuat Canna berbangga diri dan menjalani kehidupan sekolah di Rygel dengan tenang. Dia yang tak punya kekuatan istimewa disulitkan menghadapi berbagai situasi aneh yang terjadi. Namun, setelah rangkaian kejadian yang...