25 • [Menyulut Api]

43 8 17
                                    

Sebelumnya ....

Canna beranjak dan memandang kucing itu sekali lagi, netranya membalas tatapan hewan itu. Entah bagaimana menjelaskannya, saat kucing itu membuka mulut Canna dapat mendengar suara Damian.

"Kau ingin aku membantumu mencari sesuatu di perpus? Agar aku punya alasan untuk berkeliaran."

"Oh, tidak perlu. Aku akan ke aula besar, D-damian," balas Canna ragu-ragu.

"Astaga aku benar-benar tidak terbiasa bicara dengan kucing."

___________________________

KELAS ISTIMEWA selalu sepi. Namun hari ini keributannya melebihi tingkatan lain dengan jumlah murid lebih banyak. Bisikan keras yang dibuat-buat, atau bahkan pertanyaan yang sengaja dilontarkan sambil berteriak-teriak dari pojok ruangan terdengar di mana-mana. Kelas berukuran sedang dengan tatanan bangku berjarak kurang lebih satu meter dari bangku yang lain, kini terlihat lebih penuh lantaran beberapa anak berkumpul di satu sisi.

"Menurutmu, apakah Claris sudah bisa bergabung bersama kita hari ini?!" pertanyaan yang diucapkan dengan pekikan keras itu menyambut Canna ketika langkah kakinya telah memasuki ruangan.

"Kurasa tidak!" sahut seorang gadis berwarna rambut pirang. "Tapi dia sudah tidak terlihat enam hari. Entah hilang atau dimakan monster."

Lelaki di sisi lain menyahut, "bagaimana kalau kita taruhan? Siapa yang mengira dia akan berangkat dan siapa yang ...."

Canna tak lagi memperhatikan ucapan mereka. Kepalanya menggeleng tanda keheranan. Aku tak mengerti mengapa mereka masih membahas Claris, begitu pikirnya. Padahal Canna hampir melupakan masalah itu karena berbagai hal yang dialaminya. Perihal kehilangan Claris seperti sudah tak lagi dirisaukan sejak lama.

"Good morning, Canna!"

Seseorang menyapanya. Membuat Canna mendongak kaget. Tak seperti biasa dirinya mendapat sapaan ramah seperti tadi.

"Oh, hai! Pagi juga," balasnya dengan senyuman samar ketika mulai melangkah di sebuah bangku kosong-yang sialnya-dipenuhi oleh kumpulan dua anak perempuan dan satu lelaki. Seraya menoleh ke sana-sini, ia berharap ada kursi lain yang kosong. Tapi ternyata semua sudah ditempati oleh tas, dan satu kursi kosong diduduki oleh seorang anak-yang entahlah apakah itu bangkunya atau tidak.

"Umm, maaf ... permisi. Aku mau meletakkan tasku," ujarnya sambil tersenyum. Semua sontak menoleh, membuat pipi pucat itu bersemu merah. Canna hampir lupa rasanya diperhatikan dari dekat setelah sekian lama hanya bergaul dengan kedua sahabatnya tanpa berusaha akrab dengan yang lain. Entah harus menyesal atau tidak, toh gadis itu tidak terbiasa memiliki banyak sekali teman.

Tiga anak yang menghalangi bangkunya belum menyingkir. Mereka justru saling sikut, mulut salah satu dari mereka kelihatan megap-megap-seperti orang yang berkali-kali mengurungkan niat untuk bicara-lalu yang lain memandangnya sambil tersenyum walau kaku sekali.

"Hai, Cannielyn-eh maksudku Canna. Boleh kami memperkenalkan diri padamu?" Gadis bersurai merah gelap yang menjurus hitam mulai menyapa. Tipe anak dengan keberanian lebih rupanya, batin Canna. "Kurasa ... kita belum pernah menyapamu sebelumnya. Dan kau juga tidak pernah bicara kepada kami. Jadi ... apakah kau-"

"Ya, tentu saja. Kau boleh berkenalan," balas Canna dengan senyuman hangat. Dalam hati ia lega, setidaknya dengan begini telah menghargai mereka. "Siapa namamu?" lanjutnya sambil menatap gadis itu.

Yang ditatap kini tersenyum lebar hingga deretan gigi putih yang tersusun rapi terlihat jelas. Sebelum menjawab sapaan balik Canna, ia bahkan mengibaskan rambut merahnya yang licin hingga jatuh tergerai dengan lembut. "Aku Marie Louvre. Senang berkenalan denganmu, Canna." Tangannya terulur dan Canna langsung menyambutnya. Dugaan Canna tentang Si Marie ini tidak salah, gadis itu memang punya keberanian lebih atau bahkan menjurus terlalu percaya diri. Tapi Canna bisa maklum, hal itu biasa saja terjadi pada gadis yang berpenampilan menarik dan punya kemampuan unik, seperti Marie ini misalnya.

The Siver CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang