27 • [Raungan Darurat]

32 8 20
                                    

Sebelumnya ....

Canna mengiyakan, meskipun dalam hati masih tidak percaya. Ia bergegas mengikuti langkah Ares yang sudah mendahului. Tanpa sadar bibirnya melengkung indah. Tak sabar melewatkan momen yang akan dijalani bersama Ares-tanpa menyadari jika di sisi lain, Lucy sedang menimbang-nimbang opsi untuk meninggalkan asrama malam nanti tanpa sepengetahuannya dan Blaire.

___________________________

PETANG tiba. Dua remaja yang saat ini sedang berada di ruang utama menunjukkan wajah kelelahan.

"Kembalilah," perintah Ares saat ia baru ingat jika ada sesuatu yang terlewat. Sesaat wajahnya panik, tapi satu detik kemudian jejak-jejak kepanikan itu hilang.

"Uh, aku tidak menyadari jika hari sudah sore."

"Aku akan kembali, Canna. Mau kuantar?"

Ares terlihat seperti ingin cepat-cepat menyelesaikan urusannya dengan Canna. Hal ini tentu disadari gadis itu, dahinya mengerut kebingungan. Lalu dengan helaan napas kecewa, Canna memutuskan untuk mengakhiri pertemuan mereka yang menyenangkan.

"Tidak perlu," ucapnya seraya memandang pemuda itu. "Aku akan ke perpustakaan untuk mencari Blaire. Siapa tau dia sedang ada di sana setelah pelajaran tambahan. Jika kau ingin kembali silakan saja."

Tanpa basa-basi pemuda itu melenggang pergi. Rompi cokelatnya yang melapisi baju putih berkibar ke arah belakang belakang dengan pelan. Canna diam-diam mengamati, dan seketika netranya mengerjap.

"Ares!"

Yang dipanggil menoleh pelan. Alis tebalnya terangkat.

"Terima kasih," ucap Canna sembari tersenyum manis. "Oh, hati-hati!"

****

Rupanya tak seorang pun yang berniat untuk mengunjungi ruangan penuh buku saat semua murid sedang berada di asrama masing-masing, tinggal menunggu untuk makan malam nanti. Tentu saja, Canna yakin, Blaire ada di sana. Ia terus berlanjut menyusuri sela-sela rak di bagian depan. Saat sibuk mencari, langkah sepatu yang keras dan berbunyi nyaring menyapa telinganya. Refleks Canna menoleh, dan pria penjaga perpus sedang menatapnya seraya membenahi letak kacamata bulat yang melorot.

Gadis itu salah tingkah. Padahal ia sama sekali tak melakukan apapun yang patut dicurigai. "Umm, selamat sore, Pak Nelson. Apakah Blaire sedang berada di sini? Saya mencari dia sejak tadi."

Pria tua jangkung itu mengernyit sebentar. Kulitnya yang keriput semakin tampak kisut saat dahi itu mulai menunjukkan lipatan-lipatan secara jelas. Tak lama wajahnya kembali santai dan menatap Canna dengan senyuman dan sorot mata sayu. Ini sama sekali tak membantu. Gadis itu bahkan sampai menelan ludah karena melihat ekspresi aneh Pak Nelson.

Aih, kenapa senyumnya menyeramkan?

"Gadis pintar itu rupanya temanmu, Nak?" Pertanyaan retoris itu dibalas Canna dengan anggukan pelan. Bukannya menjawab lagi, Pak Nelson justru melangkah menuju meja kayu panjang-tempat ia biasanya menyusun kertas-kertas kuno dan duduk mengawasi.

Canna mendekat lagi. "Di mana dia?"

Pria tua itu kembali mengernyit. "Nampaknya gadis emas itu masih berada di sini, Nak. Coba carilah di rak-rak paling ujung sana. Bagian Mantra. Kau akan menemukannya."

Gadis emas. Canna menggeleng, bibirnya menahan tawa. Hanya Pak Nelson yang tahu alasan mengapa Blaire bisa dianggap gadis emas oleh dirinya sendiri, entah karena rambutnya yang berwarna pirang keemasan atau Blaire memang 'anak emas'. Entahlah. Dengan sopan ia mengucapkan terima kasih dan menunduk hormat lalu mulai menyusuri barisan rak dua kali lebih cepat karena sadar hari semakin sore, semestinya saat ini ia dan Blaire sedang beristirahat di kamar seperti biasa. Bukan malah mengurusi hal lain.

The Siver CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang