Sebelumnya ....
"Sudahlah. Waktu jeda akan habis dalam lima menit lagi. Kita kembali saja," lanjut Ares sambil menunggu Canna agar mereka bisa jalan bersisihan menuju menara. Meskipun tingkahnya santai namun Ares mengutuk dirinya sendiri dalam hati.
Sial! Sama saja aku menguak masa lalunya.
****
"APA kemarin kau mencarinya, Ares?" Perempuan bersurai hitam itu bertanya dengan wajah was-was. Takut jika ada murid lain yang mendengar mereka saat di luar seperti ini.
Sedangkan pemuda yang diberi pertanyaan hanya menghembuskan napasnya kasar. "Ya, tapi tak ada yang perlu dicemaskan olehmu," jawab pemuda itu sambil tersenyum menenangkan perempuan berwajah oval di hadapannya.
"Kau bercanda?" tanya perempuan itu lagi dengan bisikan keras. "Yang kita bicarakan adalah Navdä. Kau yakin tak terluka? Atau apapun itu?"
Pemuda itu hanya tersenyum semakin lebar. "Tidak ada luka." Raganya sudah bersiap untuk meninggalkan perempuan itu sendirian sebelum kembali menengok. "Jangan khawatir, oke?" lanjutnya.
Perempuan itu hanya mengedikkan bahunya pelan menatap punggung laki-laki itu menjauh. Wajahnya lalu menunduk, menjauh dari suasana sepi itu dengan perasaan ingin tahu yang tak terpuaskan.
****
Pelajaran telah usai. Canna memelankan langkahnya menuju asrama. Angin sore menyapa beberapa helai rambut cokelatnya yang berjatuhan di sisi. Tangannya yang pucat dan mungil itu mendekap buku-buku yang hendak ia pelajari saat di kamar, termasuk buku tentang Navdä yang masih ia bawa sekarang.
Saat sudah sampai di halaman asrama, terlihat Lucy yang sedang melambaikan tangan padanya. Canna sontak langsung memusatkan perhatiannya pada lambaian tangan itu, lantas bergegas menyusul sebelum semakin ramai murid lain berdatangan untuk berkumpul dengan kelompoknya masing-masing.
"Melelahkan ya hari ini," keluh Lucy saat Canna bergabung dengannya dan Blaire--gadis itu ternyata sudah menunggu.
Mereka berjalan berisisihan menuju kamar masing-masing. Bangunan asrama yang berwarna cokelat muda ditambah suasana sore yang semakin dingin membuat Canna ingin cepat-cepat masuk ke kamar tidurnya yang hangat bersama Blaire dan Lucy. Ya, mereka akan mendiskusikan sesuatu yang berkaitan dengan hutan itu lagi.
Saat menaiki tangga menuju lantai dua asrama tiba-tiba rombongan anak yang berada di tangga itu dikejutkan dengan seorang anak bernetra ungu terang. "Maaf, maafkan aku, aku harus bergegas!" seru anak itu. Badannya yang lincah lari menerobos belasan orang yang sedang menuju lantai dua bahkan ada beberapa yang jatuh terduduk lantaran ditabrak oleh gadis itu.
Lucy berdecak keras. "Mengganggu saja," katanya dengan sebal. Ia beranggapan bahwa hal sepele seperti itu dapat merusak perasaan cerahnya yang masih bersemangat.
Canna masih berusaha tenang dengan mengajak mereka berdua bergegas menuju lorong kamar. "Kalian sudah bawa camilan?" tanyanya dengan senyuman lebar penuh arti yang dibalas anggukan kepala Blaire dan cengiran Lucy. Ia pun mengangguk senang, ketika sampai di depan pintu kamarnya dengan segera membuka dan mempersilakan semuanya masuk.
"Huahh!" Lucy merebahkan dirinya di ranjang empuk milik Blaire. "Hari ini benar-benar melelahkan, aku mengantuk dari pagi tadi," lanjutnya diikuti menutupnya kelopak mata.
Blaire memandang Lucy sebal. Gadis itu tahu mereka semua memang lelah, tapi tujuan mereka berkumpul bukan untuk istirahat dan tidur.
"Nanti saja tidurnya." Blaire melemparkan bantal tidurnya dengan keras ke arah perut Lucy yang saat ini masih santai tidur di ranjangnya. Canna terkikik.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Siver Crown
FantasíaMenjadi remaja terpilih tak membuat Canna berbangga diri dan menjalani kehidupan sekolah di Rygel dengan tenang. Dia yang tak punya kekuatan istimewa disulitkan menghadapi berbagai situasi aneh yang terjadi. Namun, setelah rangkaian kejadian yang...