Sebelumnya ....Tenggorokanku tercekat. Bayi katanya? Sontak saja aku mendekati mereka lantas memberhentikan langkah ketika kulihat kain itu tersingkap. Menampilkan bayi yang pernah kutahu sebelumnya, aku masih ingat seperti apa wajah dan tubuhnya karena aku mengenali bayi itu seperti aku mengenali diriku sendiri.
________________
Angin yang menderu kencang, disertai dengan debu-debu sisa reruntuhan membuatku kesulitan untuk mengikuti wanita dan seorang prajurit itu. Hatiku masih tak percaya, sangat diluar dugaan jika memang itu bayi yang sama-yang kulihat di kastil Siver saat itu. Langkahku sedikit tersendat, terhalang oleh tanah yang penuh dengan material bangunan, berceceran di mana-mana. Membuat sepatu kulitku lengket dan kesulitan untuk mengambil jalan yang mulus.
Jika melihat kejadian seperti ini ... kembali terpikirkan, apakah aku memang bukan anak kandung Aneroi? Lalu jika Rana Ave bukan ibuku yang sebenarnya, lalu siapa yang selama ini tinggal dan merawatku hingga aku berumur tujuh belas tahun. Sungguh, saat memikirkan ini dorongan untuk mengeluarkan air mata terlalu besar. Tapi aku kembali meyakinkan diri sendiri. Tidak. Bukan saatnya untuk bersedih atau meratapi nasib. Lantas aku menangkupkan kedua telapak tanganku di pipi, memberi kehangatan sekaligus sebagai sentuhan ringan agar aku kembali pada kenyataan.
"Apa aku harus bantu menggendongnya?" tanya anak lelaki itu. Membuatku terkesiap karena kali ini nadanya seperti khawatir. Tubuh pendek dan gempal, yang kira-kira hanya 90 cm membuatku semakin penasaran. Aku sepertinya tidak asing dengan anak itu.
"Tidak perlu, Tuan Muda Levronka. Saya yang harus menjaga bayi ini," sahut sang wanita yang saat ini-baru kusadari sudah berjalan sangat jauh.
Sejenak aku mengabaikan interaksi mereka, mencoba menebak-nebak, ke mana aku-ah, maksudku bayi itu akan dibawa? Sebegitu mengenaskan kah nasibku dulu, lahir saat peperangan terjadi-kurasa, lalu diserahkan pada wanita ini dan entah bagaimana ceritanya aku bisa dirawat oleh Rana dan Aneroi. Sesungguhnya tak ada kebanggaan yang terbesit dalam pikiranku ketika mengetahui jika aku putri seorang raja-yang belum kupastikan siapa dia. Oh, aku tak mau mengira-ngira orang tua asliku, itu sebenarnya cukup menyakiti hati. Bagaimana tidak, mengapa aku baru tahu jika selama ini tumbuh dan besar tidak dari keluarga asli. Tak pernah sekali pun aku mempertanyakan apakah orang tua yang kumiliki sejak dulu memang benar orang tua kandungku. Aku bersekolah, bertumbuh, dan belajar bermacam-macam dari mereka. Terutama Ibu. Aku teramat menyayanginya. Dan Ayah, berkat dia aku bisa mendapatkan pendidikan dan cukup ilmu pengetahuan tentang teknologi darinya.
Air mataku menetes satu-persatu. Langkahku semakin melambat karena penglihatanku agak kabur lantaran air mata yang entah sejak kapan tak bisa kuhentikan.
Payah. Mengapa aku menangis, sih? Sekali lagi aku berusaha menguatkan hatiku. Sedikit lagi, aku tak boleh terlalu lemah untuk mengikuti perjalanan ini. Bukankah memang tujuan Victor agar aku bisa melihat ke mana bayi itu akan dibawa?
Rambut perak anak kecil itu tetap menjadi fokusku dalam mengikuti langkah mereka. Selain kain putih yang dipakai oleh wanita berambut merah gelap-yang baru kali ini kulihat warna rambut seperti dia-semakin mempermudah jalanku menguntit dari belakang, jangan lupakan gesekan sepatu besi kuat milik si prajurit yang berjalan di belakang. Menuntun si anak kecil yang sepertinya jengah sendiri karena sejak tadi diawasi agar langkahnya tak keliru. Melihat itu tiba-tiba aku terkekeh, tingkah angkuh seorang anak yang kira-kira baru berusia dua tahun mengingatkanku akan seseorang yang sama angkuhnya-tidak, bukan hanya angkuh. Tapi menyebalkan.
Merasakan suasana tempat yang sudah porak-poranda semakin lama semakin gelap, seraya mengikuti tiga orang yang menjadi tujuan Victor membawaku ke sini, menyadarkanku akan satu hal. Aku seharusnya merasa beruntung. Karena saat ini aku bisa bertumbuh dengan normal, mendapat pendidikan yang layak, serta kasih sayang dan perhatian yang cukup-meskipun aku harus menanggung kesedihan saat ibuku meninggalkanku. Agak menyakitkan memang mengetahui kalau orang tua asliku bisa saja sudah pergi, walau mereka berasal dari bangsawan sekali pun. Jika ada anak lain yang menyebutku berlebihan karena menangisi hal semacam ini-oh, itu jelas membuatku ingin menyumpal mulutnya dengan berbagai pembelaan. Memang sih, beberapa anak yang tidak tinggal dengan orang tuanya terkesan tidak peduli asal mereka bisa hidup layak. Tapi aku sendiri justru sedikit merasa kecewa, kebenaran sebesar ini sudah ditutup-tutupi sejak aku lahir dan dibawa lari saat bayi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Siver Crown
FantasyMenjadi remaja terpilih tak membuat Canna berbangga diri dan menjalani kehidupan sekolah di Rygel dengan tenang. Dia yang tak punya kekuatan istimewa disulitkan menghadapi berbagai situasi aneh yang terjadi. Namun, setelah rangkaian kejadian yang...