26 • [Afinitas]

60 9 22
                                    

Sebelumnya ....

Sekarang mereka terlihat makin aneh. Bisa saja anak lain mengira mereka bertiga akan berpisah atau melakukan sesuatu yang penting dengan adanya acara berpelukan semacam itu.

"Aku harus bergegas, tidak akan lama. Aku janji." Canna tersenyum seraya melepaskan rangkulan itu dengan pelan. Meninggalkan Lucy dan Blaire yang sudah berbalik menuju asrama.

___________________________

TIDAK ada suara yang lebih nyata daripada detak jantung Canna yang saat ini berdegup kencang. Telapak tangannya mencengkram syal biru di leher, melawan rasa dingin yang amat menusuk ketika mulai mendekati gerbang menuju Navdä. Benar, dirinya berniat untuk menemui singa lagi. Entah apa yang dipikirkan waktu itu, tapi gagasan bertemu dengan shapeshifter yang diduga adalah penjaga alami hutan muncul dan tak pelak membuatnya mengambil kesempatan untuk langsung melakukannya.

Apa yang akan menimpaku setelah ini?

Canna memelankan langkah, berusaha mengintai sekeliling, takut-takut jika ada anak lain atau penjaga yang melihat dirinya pergi diam-diam. Dengan pelan gadis itu mengulurkan tangannya pada gerbang yang masih tertutup, bahkan Canna mulai mengerti jika sihir pengamanan sudah diperketat. Gadis itu mendekat pada gerbang megah yang kini terlihat suram. Memicingkan matanya hingga menjadi sangat sipit. Lantas mulutnya agak menganga, kaget saat tahu jika gerbang itu tidak tertutup rapat. Ada celah kecil di antaranya-kira-kira seukuran jari telunjukmu jika kau mencoba untuk menyelipkan jarimu ke sana.

"Kenapa terbuka seperti ini?" gumam Canna.

Pikirannya menangkap satu solusi. Dengan cepat ia segera merapatkan kelopak mata, membayangkan sebentar, lalu berharap agar gerbang itu bisa ia kendalikan dengan kemampuan. Walau sebetulnya tak terlalu yakin karena berat gerbang jelas sangat jauh jika dibandingkan dengan benda-benda kecil yang selama ini dikendalikannya, dan kalau mengingat waktu terakhir kali ia bersama Lucy dan Blaire melewati gerbang ... semua dapat menembus pertahanan berkat mantra yang diucapkan oleh kedua sahabatnya. Canna sendiri tak yakin apakah pada saat itu perintah darinya berguna untuk membuka gerbang yang besar dan tinggi.

Dengan yakin gadis bersurai cokelat itu mengepalkan tangan dan memandang lurus ke depan.

Aku harus bisa.

Setelah berkonsentrasi dengan pikirannya, terdengar decit aneh yang berasal dari gerbang itu. Senyumnya mengembang begitu tahu perintahnya sedikit berguna. Sembari terus mengamati perubahan gerak dari jauh, Canna tak sengaja menangkap satu bayangan di dalam hutan. Ia menahan napas. Seketika fokusnya buyar-membuat gerbang itu tidak membuka dengan kecepatan yang konstan, justru melambat sehingga menimbulkan bunyi deritan aneh yang agak memekakan telinga. Canna panik, ia menoleh ke sana-sini, pikirannya sudah kacau dengan segala kemungkinan.

Bagaimana jika ada yang mendengar? A-aku tidak tahu cara menghentikannya lagi!

Keringat dingin perlahan muncul di sekeliling wajah Canna yang pucat. Jantungnya berdetak lebih keras daripada saat ia mencoba untuk menjangkau tempat itu untuk pertama kali-terlebih saat ini dirinya pergi tanpa ditemani oleh Lucy dan Blaire.

Terengah-engah, Canna tetap mencoba untuk menenangkan diri agar tidak panik. Gerbang itu masih berderit dengan suara aneh yang mampu membuat siapa pun penasaran. Ia mendongak dan-untuk kedua kalinya-berkonsentrasi dari awal, fokus membayangkan perintah pada gerbang itu.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Gerbang itu kemudian bergerak membuka dengan perlahan dan mulus. Canna menghembuskan napas yang sejak tadi tertahan. Bertekad dalam hati, kali ini ia tak boleh terkecoh pada apa pun yang ada di dalam hutan. Meskipun dalam hati ia bertanya-tanya tentang bayang itu. Jelas bukan bayang manusia atau hantu, tapi setelah diingat-ingat ... sepertinya mirip hewan yang sangat besar. Canna terkesiap. Pikirannya tentu saja langsung menangkap maksud yang terdekat.

The Siver CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang