33 • [Hari Buruk]

22 6 0
                                    


Sebelumnya ....

Lucy nyengir. Rambut pirang dan wajah berseri-seri miliknya telah kembali. Tapi ketika ia menyadari Canna yang ada di sana dengan goresan pada tangan kirinya, seketika membuat Lucy kembali panik.

"Canna? Ap-apa yang menimpamu?"

Blaire sekonyong-konyong menyeret lengan Lucy untuk menjauh. "Lus, hentikan. Biarkan Canna isti—"

"Claris menyerangku."

_______________________________

KESUNYIAN dan gemerisik daun yang bergoyang di halaman asrama menjadi suasana biasa yang terjadi setiap malam. Tiga bangunan asrama berjejer berdampingan jauh dari seberang kastil pengawas. Sekitar pukul sepuluh malam, kebanyakan anak yang ada di dalam setiap kamar yang terisi dua hingga tiga orang, sudah tertidur lelap, menyelami mimpi-mimpi mereka.

Sedangkan pada bangunan asrama pertama, yang memiliki halaman paling luas dan kosong, pada salah satu kamar yang kini diisi oleh tiga anak perempuan di lantai tiga, terdapat suara pelan yang menceritakan runtutan kejadian. Jika ada orang lain yang mendekat lantas menempelkan daun telinga pada pintu mereka, orang itu akan mengira jika salah satu anak dalam kamar sedang bergosip—barangkali sambil membuat bintang-bintang ilusi menggunakan tongkat sihir—biasa dilakukan oleh penyihir pada anak mereka sebelum tidur sekaligus mengisahkan sebuah cerita sambil menciptakan berbagai benda langit tiruan di kamar yang gelap.

"Sejak awal berita hilangnya gadis itu memang aneh, bukan?" Gadis bernetra cokelat keemasan menggertakkan gigi seraya mengeluarkan suara seperti mendesis. Rambut emasnya berantakan menutupi sekitar wajah dan leher, menandakan jika ia belum sempat merapikannya sebelum membantu Canna.

Perkataannya ditanggapi dengan dengusan pendek dari gadis lain di sebelah mereka yang bersurai pirang terang, mata birunya menerawang. "Kurasa Rygel sudah tidak aman untuk kita. Aku berani jamin jika ini bukan serangan ter—"

"Mengapa kau berharap begitu? Kau mau kita terus-menerus ada dalam bahaya?" Blaire membantah dengan suara parau. Di antara ketiganya, hanya dia yang belum terjebak dalam masalah serius sendirian. Awalnya ia tidak ingin merusak reputasinya, tapi kini pasrah—karena toh ia berteman dengan Lucy dan Canna yang sudah berkali-kali berurusan dengan bahaya dan sebagian besar karena bantuan dirinya.

"Hei, kita bisa hadapi bersama. Lagipula apa salah Canna sampai diserang seperti itu? Kita selama ini tak pernah mencampuri urusan Claris!"

"Itu kan menurutmu saja, Nona Rubah. Bagaimana kalau ternyata selama ini apa yang kita selidiki berkaitan dengannya? Dan apa kau ingat tentang kertas palsumu waktu itu? Kurasa ada orang lain yang tahu kita mencari sesuatu, dan dia memberitahu Claris."

Lucy menganga. Gagasan Blaire selalu membuatnya menjadi lebih mudah untuk kembali berpendapat. "Yap! Kalau begitu menurutmu apakah ini sudah direncanakan?"

Canna yang sejak tadi menyimak, kembali mengeluarkan suara walau tangannya saat ini mulai berdenyut. "Aku hanya pergi ke perpustakaan atas ajakan Marie dan George. Itupun hanya ingin memin—"

"Bagaimana kalau ternyata Marie dan George sudah menyusun rencana untuk menggiringmu ke perpustakaan?!" pekik Lucy dengan wajah ngeri yang dibuat-buat. Namun Blaire segera menyikutnya dan melotot.

"Kau mendengar semua cerita Canna tidak, sih? George bahkan sempat melarang Canna untuk meninggalkannya sendirian, tahu. Dan menurutku, mereka akhirnya mau meninggalkan Canna karena Canna yang memaksa. Bilang tidak ingin diganggu. Siapapun yang tidak dekat dengannya seperti kita, maka akan memilih untuk pergi saja, menghormati privasi Canna. Ngerti?" jelas Blaire panjang lebar.

The Siver CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang