22 - kucing aneh

67 11 18
                                    

Sebelumnya ....

"Akan kuceritakan nanti malam di kamar kalian berdua," ungkapnya disertai kerlingan mata, "dan tentu saja Canna. Kau harus menjelaskan petualangan 'serumu' bersama pemuda sihir itu."

Aku menghela napas karena ternyata Blaire juga mengangguk senang. Menyetujui usulan Lucy. Bahkan saat ini mereka sudah ber-tos tanpa memedulikan aku.

___________________

Rintik air hujan yang terdengar malam itu ditambah hawa dingin yang semakin menyeruak seperti biasa, mewarnai suasana asrama para siswi Rygel yang saat ini masih dipenuhi dengan aktivitas dan obrolan penghuninya. Termasuk kamar di lantai tiga yang terletak di ujung koridor, tak ada yang tahu jika Lucy kembali berkumpul bersama Canna dan Blaire karena tak ada satu pun penjaga asrama yang bertugas setelah makan malam usai.

Perapian hangat menemani mereka di sela-sela obrolan. Terlihat Lucy sedang merapikan sepatu botnya berjejer dengan milik Canna dan Blaire di samping pintu kamar. Tak lupa ia meluruskan gulungan kaus kaki yang sejak tadi terpilin agar tidak terlalu mengganggu langkahnya. Dia menoleh kala mendengar suara air panas yang tertuang dalam mug kecil. Canna sedang membuat teh.

"Dari mana kau dapatkan itu, Cann?" tanya Lucy seraya berjalan ke arah Blaire yang sibuk mengelompokkan buku-buku tebal.

"Umm, yah, aku pesan dari dapur asrama. Bibi Prilly, penjaga dapur, memerbolehkanku membawa masing-masing tiga teh herbal yang spesial dibuat oleh juru masak Rygel," balas Canna dengan perhatian yang sepenuhnya masih pada mug dan mulai mengambil sendok untuk mengaduk teh yang sudah mengepul. "Lalu seperti yang kau tau, aku dengan senang hati mengambil teh ini. Kita butuh hidangan, bukan?" Canna tersenyum penuh makna.

"Ya. Kau benar, dan aku tak ingin berbasa-basi lagi di sini," cetus Blaire dengan wajah yang menyiratkan tuntutan agar Canna dan Lucy segera memenuhi janji mereka.

Lantas gadis berambut cokelat acak-acakan itu mengerti dan menghela napas. Bersiap untuk menjelaskan satu-persatu kejadian aneh itu. Saat dirinya 'kembali' ke masa lalu berkat bantuan Victor si menyebalkan lalu dilanjut dari keanehan-keanehan dan perilakunya yang melenceng dari perintah. Canna tersenyum kecut setiap ia menceritakan bagian itu, terbayang wajah Victor yang marah padanya dan kata-kata lelaki itu masih terngiang di kepala. Canna akhirnya mendengar kalimat terpanjang Victor yang diucapkan padanya saat marah. Namun Canna tak menceritakan soal gertakan dan ucapan meremehkan Victor pada mereka, karena menurutnya cukup dipendam sendiri saja.

"Victor bukan anak biasa, percayalah," simpul Blaire setelah mendengar cerita Canna secara runtut. Dia yakin bahwa tak sembarangan orang dapat membagi memorinya-apalagi ditambah mengikutsertakan orang lain untuk melihat dan menelusuri. Tak ada anak normal seumuran mereka bisa melakukan itu.

"Yeah, aku setuju. Mana ada, sih ... oh! Kalian ingat? Bahkan dia sudah bisa melakukan sihir luar biasa saat hari pertama itu." jelas Lucy dengan antusias. "Dan bagiku tak heran jika dia bisa melakukan macam-macam. Untuk ukuran seseorang yang sudah bisa melakukan hal-hal unik sihir tingkat tinggi, aku tak kaget jika dia tiba-tiba bisa menghilang atau menjadi transparan dan mengikutimu, Cann!"

Canna berdecak. "Hentikan. Aku tak suka terus-menerus dibisiki sesuatu atau bahkan-yang lebih buruk-dikuntit oleh seorang lelaki atau siapa pun itu. Tidak sama sekali," bantah gadis itu seraya memutar bola matanya. Terkesan tidak sopan untuk menanggapi sebuah candaan. Tapi Canna nampaknya tidak menyadari, karena baginya hal-hal yang menyampuri urusan orang lain, apalagi berkaitan dengan privasinya yang amat-sangat-penting, tidak bisa lagi ditolerir.

Lucy tertegun. Baru ingat bahwa sahabatnya itu tak suka disinggung tentang segala sesuatu yang dapat membuatnya merasa terganggu. Mulutnya hendak menyuarakan maaf tapi perkataan Blaire memotongnya.

The Siver CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang