03 • [Bakat]

144 33 29
                                    

Point of view || CANNA

MARRYANE. Peri kecil bertumbuh tambun itu sejak tadi memandu semua murid Rygel menuju lapangan utama. Sayapnya menari-nari, terbang kesana-sini. Aku hampir bosan melihatnya.

Peri itu mengetuk-ngetukkan tongkat sihirnya ke atas kepala salah satu pemuda yang tidak memerhatikan penjelasan panjang lebarnya sejak tadi. "Hohoho. Hai, pemuda tampan. Kau kah itu yang sejak tadi tak melihat ke arahku?" kata Marryane dengan nada mengejek. Ia kembali memukul pelan kepala pemuda itu beberapa kali, lalu dilihatnya semua anak dan berkata, "Anak-anak! Fokus! Kita akan memulai pemilihan kelas tingkatan ini."

"Pssst." Lucy yang berdiri di sebelahku berbisik pelan. "Cann, apa kau siap?"

Aku berusaha tersenyum tenang sambil terus mengikuti kemana peri itu pergi. "Siap tidak siap, aku akan menghadapi ini, Lucy."

Lucy bergidik mendengar jawabanku. "Kau tahu? Aku cukup percaya diri ketika mengingat kemampuan sihirku sudah berkembang sebelum ini," ucap Lucy. "Namun, setelah mendengar kabar bahwa seleksi tingkatan kelas ini tidak lagi berdasar pada pilihan dan kemampuan masing-masing, aku mulai gentar," keluhnya.

Aku tersenyum lagi. Berusaha menetralisir rasa gugupku. Huh, Lucy yang lebih jago dariku saja tidak yakin. Apalagi aku dengan segala kekurangan ditambah tak mengerti apapun dibanding dengan semua anak yang ada di sini. Jika kau tanya mengapa begitu, tentu saja tak semua orang di Siver menguasai sihir dan segala bentuk pengendalian terhadap alam, apalagi pengubah wujud yang murni dan langka. Lain halnya jika bakat sihir dan pengendali sudah dimiliki sejak lahir, maka biasanya mereka lebih memilih untuk menjadi bagian dari kerajaan. Sedangkan aku ... hanya seorang gadis remaja beruntung yang belum memiliki kemampuan hebat.

"Anak-anak, silahkan kalian ambil satu persatu bunga di sekeliling kalian." Marryane menuntun kami ke dalam ruangan yang penuh dengan ... tunggu, bukankah semua bunga di ruangan ini sama dengan bunga aneh yang kulihat bersama Lucy waktu itu. Sungguh, baunya saja sudah membuatku tak tahan, apalagi mengambilnya.

"Cann." Lucy berbisik lagi. "Firasatku benar. Bunga ini ... bukan bunga biasa. Entah mengapa Marryane menyuruh kita mengambilnya, bukan? Uh, sejujurnya aku tak mau menyentuh bunga itu."

"Ayo. Jangan ragu-ragu ...." Marryane tiba-tiba terbang di dekatku, tangan mungilnya menyentuh bahuku pelan.

Aku mengangguk. "Ba-baiklah."

Di luar dugaanku, semua murid di sini sama bingungnya denganku. Banyak di antara mereka yang masih menutup hidungnya sambil berusaha mencabut bunga itu, yeah ... meski ada sebagian yang terlihat jijik dan memilih menjauh. Lucy justru sudah memetik satu dan menunjukkannya padaku, wajahnya berusaha menghindari aroma busuk agar tak masuk ke hidungnya.

"Cann... benar-benar. Bunga ini sangat ringan, ah andai Blaire bersama kita. Aku pasti bisa melihat wajah tekejutnya yang aneh." Lucy masih bisa bercanda bahkan saat suasana sedang serius. Aku mengendikkan bahu, mengikuti murid lain, kuambil salah satu bunga yang belum disentuh siapa pun. Saat aku sudah berada dekat dengan bunga itu, entah mengapa jariku masih enggan menyentuh tangkai bunganya.

"Jangan ragu-ragu, Cannielyn. Waktumu tak banyak."

Mataku mengerjap. Bisikan itu lagi. Argh, aku kesal, mengapa di saat-saat seperti ini bisikan itu kembali terdengar? Ah, tidak aku harus fokus. Kuabaikan suara-suara lain termasuk suara Marryane yang sejak tadi sibuk meneriaki murid-murid agar segera memetik bunga aneh ini. Tanganku dengan gemetar mencapai bunga itu, aromanya semakin pekat seperti ... aroma sesuatu yang telah membusuk. Hufft... aku menutup mataku, jari-jariku sudah menyentuh tangkainya. Dalam sekejap bunga lebar berwarna jingga itu sudah berada dalam genggamanku.

The Siver CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang