34. Zona Nyaman

6.6K 687 10
                                    

"Kalau kerja jangan disitu-situ aja,

Kalau galau jangan gitu-gitu aja move on dong"

-Prinsip dari yang pernah terjebak


Semua sudah beres. Akhirnya aku selesai mempacking seluruh barangku di kantor. Tumpukan tumpukan kardus sedang dan besar di bawah dan di sisi meja telah terisi semua. Aku bahkan tidak menyangka bahwa enam tahunku bekerja disini rupanya sudah menyebabkan aku menimbun banyak barang.

"Kinan, terus apa rencana lo habis ini?" Ujar mbak Ranita yang menggeser kursinya ke kubikelku.

"Aku kan udah keterima Mbak, waktu habis kepergok Dewangga itu ga sampai seminggu aku dapet telfon dari HRD nya sana." Aku menyandarkan punggungku di kursi nyaman yang besok tak akan kutemui lagi.

"Oh ya? Wah kok lo nggak bilang sih, selamat ya Kin!" Mbak Ranita menepu-nepuk pundakku berkali kali. Aku mengeluh kesakitan.

Disaat yang sama ponselku bergetar menunjukkan sebuah pesan masuk dari Dewangga.

Vold: I need to talk to you, now. at rooftop.

Oke ngapain siang siang ngobrol di rooftop sih, panas begini. Gerutuku dalam hati.

"Mbak bentar ya." Aku beranjak ke lift menekan tombol lantai paling atas. Sesampainya di lantai teratas, aku masih harus menaiki satu baris anak tangga untuk mencapai pintu keluar. Aku masih bisa mengingat tahun pertamaku bekerja, sering sekali kesini karena penat dengan pekerjaan. Sekarang sudah jarang, mungkin karena aku sebenarnya sudah nyaman dengan pekerjaanku. Tapi zona nyaman itu membuat seseorang menjadi tidak berkembang.

Dewangga duduk menatap layar ponselnya duduk di kursi kayu dibawah tanaman rambat yang cukup teduh.

"Ada apa Pak?" Ucapkku tersenyum ramah, setidaknya untuk terakhir aku harus meninggalkan kesan baik.

"Nih, tadi ada bonusan daripada gue buang. " Dewangga mengulungkan Iced Latte kesukaanku, wah kebetulan sekali.

"Oh, thanks." Ujarku.

"Kamu kapan masuk kerjanya ditempat yang baru?" Dewangga memulai percakapan.

"Next week." Jawabku sembari menyeruput kopi.

"Oh," Dewangga menyeruput kopi. "There's something I want you to know, gue merasa lo perlu tahu aja karena lo udah resign dari sini.." Dewangga terlihat serius.

"I like you, sejak pertama kali lo interview disini. Pak Bayu awalnya nggak setuju kalo kita ambil lo dibanding worker lain yang udah punya lisensi. Tapi gue meyakinkan buat pilih lo. That's why I've been so hard to you di tahun pertama lo kerja." Aku masih mendengarkan Dewangga dalam diam.

"Gue mempertaruhkan harga diri gue, di sisi lain sebenernya gue takut kalau lo justru tertekan dan resign awal. But, later i know that you're tough." Ujung bibir Dewangga terangkat sedikit. Hanya sedikit saa sudah menunjukan karisma yang luar biasa.

"I like you as a partner and as a man, Nan." Jleb. Udara disekitarku terasa hampa. Telingaku seperti tak dapat mendengar apapun selain ucapan Dewangga. Jadi selama ini dia suka padaku, why am I never know?

Mendengar ungkapannya, aku cukup tekejut. Sangat. Tapi aku tidak merasakan apapun selain itu. Mungkin saatnya tidak tepat. Saat ini masih ada Gilang yang mengisi pikiranku, ketika rupanya ada seseorang yang sejak lama memikirkanku.

Aku hanya bengong menatap langit Jakarta, tidak tahu harus bereaksi apa. Dewangga yang tampaknya cukup peka dengan situasi saat ini kemudian berkata. "Nggak usah dipikirin gitu Nan. Gue kan cuma ngasih tau. Lo juga lagi nggak mungkin menjalin hubungan tampaknya."

"Hah? Kok Bapak bisa mikir gitu?"

"Lo itu gampang ketebak moodnya." Jawabnya enteng sembari menyandarkan punggung tabahnya di kursi.

Aku hanya mengerutkan kening.

"Oya Nan, next time kalo kita ketemu lagi jangan panggil gue Bapak ya, gue kan belom bapak-bapak." Ucapnya bercanda namun tidak terdengar bercanda bagiku.

"Alright,then." Aku menghela nafas salah tingkah.

THE DEADLINE  [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang